Undercover Operation #4

4K 253 0
                                    

"Jesslyn, apa kau sudah... " Justin tak melanjutkan perkataannya,

"Apa? Kau tak jadi mengajakku?" aku membenarkan rambutku,

"Kau cantik, itu saja." ia mendekatiku, "Jadi, apa kau siap?"

Aku tertawa kecil, "Selalu, Justin."

"Baiklah," Justin melihat arlojinya sejenak, "Ayo."

Aku lebih memilih memakai dress putih, sebenarnya aku tak terlalu menyukai dress, tapi aku akan berada diantara para menteri dan orang terpenting di negara ini. Justin memakai Tuxedo yang ia beli pagi tadi, dan membuang Tuxedo-nya yang sudah berlumuran darah. Sekarang sudah pukul 7 malam dan setengah jam lagi acara pergantian Presiden akan dimulai. Kami sudah memasuki mobil baru Justin, Audi S4 berwarna hitam.

"Apa yang kau lakukan jika sedang gugup?"

Aku melirik Justin sejenak, "Mengigit bibirku."

"Apa aku harus melakukannya nanti ketika berpidato?"

"Entahlah, itu terserah kau."

Ia tertawa, "Kusarankan kau jangan terlalu jauh dari panggung, Jess."

Setelah beberapa menit dalam perjalanan, kami sampai. Sudah banyak orang yang datang dengan baju-baju formal mereka. Bahkan para reporter pun kini sedang meliput persiapan yang terjadi disini. Justin memegang tanganku dan menariknya perlahan, membuatku selalu mengikutinya. Banyak blitz yang menyorot kami, bahkan banyak reporter yang mengarahkan mic atau recorder-nya dan menanyakan banyak hal.

"Justin, apa gadis ini pacarmu?"

"Ya."

"Kami turut berduka atas kematian pamanmu. Apa kau sudah tahu siapa yang membunuhnya?"

"Saat ini belum."

"Apa kau tahu motif pembunuhannya?"

"Tidak."

"Apa kau sudah tahu siapa yang akan menjadi Presiden?"

"Belum."

Sejauh ini, hanya satu sampai tiga kata saja yang keluar dari mulut Justin. Setidaknya, itu sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para reporter. Tak lama kemudian, dua orang petugas berbadan besar membantu kami, ia menyingkirkan para reporter untuk memberi kami jalan. Akhirnya, kami bisa masuk ke gedung ini. Seseorang menyambut kami.

"Apa kau Justin? Pergi ke belakang panggung, ambil script-mu. Kau bisa berlatih 1 menit disana."

"1 menit?!" Justin menaikkan nada suaranya,

"Mungkin 2-3 menit. Cepat!"

"Ayo, Jess." ia menarik tanganku lagi,

Aku tahu ia sudah gugup. Keringat jatuh dari pelipisnya. Kami berjalan secepatnya ke ruangan di belakang panggung, Justin menutup pintunya, kini hanya kami berdua di ruangan ini. Justin melepas genggamannya kemudian berjalan kesana kemari. Berkali-kali ia menghembuskan nafasnya dan mengacak-acak rambutnya. Ia menghampiri sebuah meja dan mengambil secarik kertas, membacanya.

"Aku harus membaca ini, kan?" tanyanya,

Aku menghampirinya, "Justin, tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya harus membacanya."

Ia menghela nafas lagi, "Baiklah. Ayo."

"Tunggu," aku mendekatinya, "Kau akan berpidato di depan orang-orang penting."

Aku membenarkan dasinya yang tidak rapi. Aku tiba-tiba merasakan nafasnya tepat di wajahku, aku mengangkat kepalaku perlahan untuk menatapnya, ia menciumku sebelum aku benar-benar menatapnya. Tangannya berjalan perlahan di bagian belakang rambutku, menciumku lebih dalam. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu hingga membuat Justin mundur beberapa langkah.

"Justin! Apa kau disana? Acara sudah dimulai!"

"Ya! Tunggu sebentar!"

"Waktumu sudah habis! Mereka sudah menunggu!"

Justin menghembuskan nafas cepat, "Baiklah, aku akan keluar!"

Aku tersenyum padanya. Ia memegang tanganku dan menariknya perlahan. Kami keluar dari ruangan ini dan berpisah. Aku naik ke lantai dua untuk melihatnya dari atas, sedangkan Justin menaiki panggung. Setelah ia mendekati mic-nya, beberapa kata pembuka terlontar. Ia menatapku yang sedang berada diatas sebelum melanjutkan pidatonya. Kemudian, ia membacanya lagi. Aku tersenyum menatapnya. Tiba-tiba, kalungku terasa bergerak kearah pukul 5. Sepertinya seseorang membawa logam besar atau apapun yang menimbulkan gaya magnet. Aku penasaran. Jadi aku mengikuti magnetku.

"Nona, kau mau kemana?" aku berbalik, melihat seorang security,

"Apa orang-orang yang ada disini diperbolehkan membawa benda-benda yang mempunyai gaya magnet?"

"Setahuku tidak, nona."

"Aku harus pergi."

"Apa ada yang salah?"

"Tidak."

Aku masih mengikuti kemana arah magnetku. Magnet kecilku bisa menarik magnet besar yang berada di radius ±3 meter. Aku terus berjalan mengikuti magnetku. Hingga akhirnya aku berhenti, melihat seseorang dengan sniper di tangannya. Aku perlahan mendekatinya, mencoba untuk tidak diketahui. Tetapi terlambat, ia mengetahuiku dan menembakku. Aku berhasil menghindar. Ia mengarahkan sniper-nya kepada Justin, aku menghadangnya, mencoba membuatnya berhenti.

"Berhenti menghalangiku!"

"Kau siapa?! Apa tujuanmu?!"

"Kau tak perlu tahu!"

"Berhenti!!"

"Kau yang berhenti!!" ia menarik sniper-nya dan menembak Justin,

"Tidak!!" aku melihat Justin, tembakannya meleset, dia baik-baik saja,

Penjahat itu menarik dan mendorongku, "Sial!! Bagaimana kau menemukanku??!!"

Aku masih mengatur nafasku, "Untuk apa kau disini?!"

Ia mengarahkan sniper-nya padaku, aku perlahan mundur, mencoba untuk kabur tapi aku tahu aku tak bisa. Aku terpojok. Tak ada cara untuk kabur. Ia menempelkan ujung sniper-nya ke kepalaku. Aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali menutup mataku. Tak lama kemudian, aku mendengar suara tembakan. Aku mulai membuka mataku dan melihat Justin sudah menembaknya.

"Jesslyn! Kau tidak apa-apa?!" Justin mendekatiku,

"Ya. Kau?"

"Pelurunya meleset. Ayo kita keluar dari sini!"

Undercover OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang