Part 4

44 12 3
                                    

Justin menatap Jaxon sedih, detik berikutnya Justin memeluk Jaxon erat. Menenangkan bocah itu dalam pelukannya. Justin tak menyangka, hidup Bocah laki-laki itu lebih keras dari dirinya. Ia sadar, bahwa ada yang lebih menderita dari nya.

Jaxon menangis dalam pelukan Justin. Membasahi kaus lusuh Justin. "Kakak, seandainya kau pergi nanti..," Jaxon menengadahkan kepalanya menatap pria tampan dihadapannya.

"jangan lupakan aku"

***


"Sudah ku bilang, jangan pernah menerima apapun dari pria sialan itu, Roselina Eve!" Ujar Pria paruh baya. Rahangnya mengeras menatap anak satu-satunya itu. Dirampasnya Surat berwarna ungu itu dalam genggaman Roselina.

Gadis cantik itu begitu takut menatap Ayahnya. Pasalnya sedari kecil ia tak pernah melihat Ayahnya membentaknya seperti itu. Badan mungilnya bergetar ketakutan menatap tatapan tajam Ayahnya.
"Ayah.. a-aku.." ucap Roselina mencoba menguatkan dirinya. Dia harus jujur pada Ayahnya. Dia menyangi Justin.

"Aku.. mencintai Justin."

"Arghh..," Pria paruh baya itu menggeram kesal. "Kau lihat ini Eve!" Tangan kekarnya menyobek surat itu menjadi dua bagian empat bagian dan seterusnya hingga menjadi potongan kecil. Lalu membuangnya dilantai.

"Jangan ayah..hiks" Roselina menangis menatap surat itu. Hanya surat itulah satu-satunya ia mendapati kabar dari Justin, kekasih yang sangat dirindukannya. Ia hanya bisa menatap nanar lantai yang berserakan dari potongan surat itu.

Pria paruh baya itu mengenggam pundak Roselina. "Lihat Ayah nak!" Ucapnya. Roselina menatap Ayahnya, air mata keluar dari mata birunya yang Indah.

"Ayah menjodohkanmu dengan anak Ceo dari perusahaan ternama di Inggris. Jadi Ayah harap," Pria paruh baya itu menatap anak gadisnya serius. "Kau harus melupakannya!" . Pria paruh baya bernama lengkap Oscar itu melepas genggamannya dan pergi meninggalkan gadisnya sendirian.

Bagai tertusuk panah tepat di jantungnya, Roselina diam menatap pintu kamarnya yang telah tertup. Ia terjatuh dilantainya. Air mata meluncur dengan derasnya. Tak menyangka Ayahnya begitu membenci Justin. Kekasih yang sangat dicintainya. Tak bisakah Ayahnya melihat Justin ? Barang sedikit saja?. Memorinya terlempar saat Justin dengan diam-diam membawanya ke pohon besar. Disana Justin berjanji untuk menikahinya saat ia pulang nanti. Lalu apa yang akan dikatakan nya nanti pada Justin?. Apa Justin akan marah padanya?. Roselina hanya bisa menangis.

Sementara di tempat lain..

Justin diam dalam keheningan malam. Matanya masih terjaga, ia merindukan gadisnya yang jauh disana. Tubuhnya meringkuk dalam selimut lusuh. Bahkan saat tidurpun hanya alas karpet yang ia dapati. Tak ada kasur. Ia merindukan rumahnya, walupun sederhana setidaknya ia punya kasur yang lebih nyaman.

"Aku merindukanmu Eve."

***

Hari telah berganti. Musim dingin pun telah terganti dengan Musim Semi. Dimana kelopak bunga kembali merekah menunjukan betapa indahnya kuasa alam.
Justin dan Jaxon membantu merapikan rumah Jeremy, ayah Jaxon. Hampir sebulan Justin menetap disana. Lalu saat menjelang siang sampai malam Justin dan Jaxon mengamen mencari bekal hidupnya. Tak ada hari libur untuk mereka. Sementara Jeremy? Jangan lupakan pria paruh baya itu yang selalu menjual koran sedari pagi hingga siang. Begitu keras hidup mereka bertiga.

Jeremy memberikan sebotol minuman pada Justin yang terduduk. Lantas pria paruh baya itupun ikut bergabung bersama Justin. Jeremy sesekali menoleh pada anak laki-laki nya yang tengah bermain gitar di bawah pohon cemara. Jarak mereka hanya sekitar 3 meter. Tak mungkin rasanya bocah laki-laki itu bisa mendengar percakapan mereka. Jeremy kembali menatap Justin yang telah selesai meminum air mineralnya. "Kau tahu Justin?". Justin memfokuskan pandangannya pada Jeremy.

"Sejak Jaybe meninggal Jaxon sangat kesepian.. " ujar Jeremy tenang. Namun pandangannya mengisyaratkan kesedihan juga kekhawatiran. Tatapan itu kembali pada Jaxon.

Justin tampak serius hingga bola mata karamel itu tak berkedip. "K-kau punya anak laki-laki lain selain Jaxon? Maksudku.. Seperti kakaknya?".

"Ya, Jaybe meninggal saat kecelakaan mobil. Jaxon sangat terpukul, sampai ia mengurung dirinya dikamar dua hari.. sulit rasanya untuk mengajaknya makan. Sampai ia bertemu denganmu," mata Jeremy bertemu dengan mata Justin. Disanalah Justin bisa melihat betapa rapuhnya lelaki paruh baya itu.

"Dia sungguh menyayangimu, Anak muda. Aku bisa lihat dari tingkahnya yang semakin ceria," pandangan Justin pindah kearah Jaxon. Bocah kecil itu masih enggan dari pohon cemara itu. Ia terlihat anteng disana dengan gitar kecilnya. "Juga dia terlihat bahagia bersamamu.. Aku hanya minta padamu, Justin.."

"Untuk tidak melupakannya"

Justin menatap Jeremy dengan seulas senyum, "Aku tidak akan pernah melupakan Jaxon".

***


"Kita hampir 2 minggu mengikutinya, lalu apa yang kau tunggu Scott?" Ujar Jonathan. Wajahnya memandang sahabat karib satu-satunya itu sebal. Tak mengerti apa yang dipikirkan lelaki dewasa itu. Mereka mengikuti Justin hanya karna alasan "memastikan" pria itu memiliki suara yang khas dan Bagus. Hell, bahkan Tim Bandnya sudah menyetujui jika Justin ikut bergabung bersamanya. Lalu apa yang ditunggu lelaki berumur 35 Tahun itu.

"Aku hanya--"

"Memastikan maksudmu?," Potong Jonathan sebal. "Kau harus ingat Konser akan dimulai 2 minggu lagi, dan kau belum sama sekali memiliki calon Vocalist peganti! Apa kau sadar itu?".

"Aku sadar sesadar sadarnya Jonathan!! Hanya saja aku.. ragu"

Jonathan memutar bola matanya sebal. Tidak mengerti lagi dengan Scooter. Rasanya ia ingin memukul keras kepalanya dengan tangan kekarnya itu. Agar ia sadar dan mengakui bahwa Justin memiliki bakat bernyanyi yang Bagus.

"Kau dengar Scott!, Aku hanya takut kau kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Bandmu akan kehilangan segalanya. Mereka kehilangan penggemar setianya, mereka tidak punya uang lagi untuk hidupnya dan... kau!" Jonathan menatap Scooter tajam seolah ia adalah seorang penjahat yang telah mencuri dompetnya.

"Kau akan kehilangan jati dirimu sebagai Manager."

***

Justin menatap langit biru yang cerah, musim semi telah dimulai. Rasanya ia begitu cepat berada di Los Angeles. Bibir nya mengulum senyum mengingat kekasihnya yang jauh disana. Mata hazel itu tertutup perlahan merasakan udara segar dari tempat ia berdiri. Tanpa terasa ia merasakan tangannya digenggam erat. Lembut dan pas di tangannya. Lantas dengan gerakan pelan mata karamel itu terbuka menampilkan gadis cantik dengan balutan dress ungu lavender selutut. Ia sangat manis, batin Justin.

"Cepat pulang Justin, aku menunggumu disini" ucapnya lembut. Membuat Justin merasakan hangat pada tubuhnya.

"Hey Kak! Ayo cepat, mereka menunggu kita, psttt ayooo Kak Justin!"

Dan pandangan itu berubah menjadi bocah laki-laki yang menatapnya cemas cemas. Justin mengerjap matanya beberapa kali. Sampai menguceknya pelan. Hanya Mimpi?, batinnya bertanya.

Tak Jauh dari Justin, Scooter berserta Jonathan keluar dari mobilnya. Lelaki bertubuh tegap itu menatap Scooter penuh keyakinan. "Kau harus melihatnya langsung, scott."



To Be Continued...

Christmas EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang