Part 6

37 9 0
                                    

Entah dari mana asalnya Scooter dan Jonathan telah berada dibarisan paling depan menepuk tangan dengan senyum harunya. Jonathan tersenyum penuh bangga, pilihannya tak akan salah kali ini. Justin mengerjapkan mata hazelnya beberapa kali. Tak menyangka seorang Scooter Braun berada dihadapannya. Menepuk tangan untuknya dan tersenyum padanya. Sebuah kebanggaan tersendiri untuknya.

"Aku harap kau cepat bergabung bersama kami secepatnya, Justin." ujar Scooter.

Justin senyum penuh bahagia sampai sampai air matanya keluar begitu saja. Ini adalah hal yang terpenting untuknya. Seorang produser ternama seperti Scooter Braun mau mengangkatnya menjadi bagian dalam musiknya. Bukankah ini hal yang paling bahagia?.

Justin begitu bahagia sampa lupa pada seorang bocah laki-laki itu, Jaxon. Anak laki-laki itu tersingkir pada orang yang ingin berkerubungi Justin. Wajah polos bocah itu yang semula bahagia karna terharu kini berubah menjadi murung. Jaxon beranjak keluar dari restoran cepat saji itu tanpa pamit pada Justin terlebih dahulu.

Jaxon duduk disebuah Taman yang tak jauh dari Restoran tadi. Ia menekuk lutut dengan kedua tangannya. Mata hitam Jaxon menatap lurus-lurus Taman kota Los Angeles yang luas juga apik ditengahnya terdapat danau buatan yang masih sangat asri, membuat orang yang singgah kesana menjadi tenang. Aku tak ingin dia pergi, batinnya berteriak.

Justin terus berlari entah kemana saja sembari meneriakan nama Jaxon. Mata hazel Justin menyapu pandangan kota Los Angeles, Luas, padat dan banyak kendaraan lalu lalang. Namun pandangannya jatuh pada papan hijau yang menunjukan arah ke Taman. Mungkin saja Jaxon disana, batinnya.

***

Taman ini begitu luas. Ditambah banyak orang yang singgah kesini. Tapi, Lelaki Tampan itu tak menyerah begitu saja. Ia terus berlari mencari bocah laki-laki itu.
Sampai pandangannya menyipit, sejauh mata memandang Justin mendapati punggung kecil anak laki-laki itu yang mirip dengan Jaxon. Dengan langkah pasti Justin mendekatinya.

"Jaxon" panggil Justin saat dihadapannya.

Bocah laki-laki itu tak menoleh sama sekali. Mata hitamnya itu lebih memilih menatap danau yang terpampang jelas dihadapannya.

Justin duduk disamping Jaxon. Ia mengikuti gaya Jaxon duduk, memeluk lututnya dengan kedua tangannya. Pandangannya juga lurus. Menatap danau.

"Kau tahu saat pertama kali aku melihat pria berotot itu?" Ujar Jaxon akhirnya setelah 15 menit tanpa berbicara, keduanya nampak asik dalam keheningan.

Justin menoleh ke anak laki-laki itu. Jaxon masih enggan menatapnya. Dia tahu betul siapa yang dimaksud Jaxon ialah Jonathan.

"Aku tahu bahwa dia akan membawamu pergi," dan pandangannya itu jatuh pada Justin. Sebuah air mata tulus jatuh di pipi mungilnya. Jaxon menangis.

"Aku menyayangimu kakak, aku berharap aku memilikimu lebih lama lagi, aku butuh dirimu lebih lama lagi, a-aku tahu aku egois tapi aku ingin kau terus bersamaku."

Justin lantas memeluk tubuh mungil itu kedekapannya. Sudah satu Bulan lebih ia bersama anak kecil ini, merubah hidupnya, membawa Justin ke kehidupan yang berbeda, mengajari Justin apa artinya kehidupan yang sebenarnya dan satu hal yang ia dapat, mensyukuri kehidupannya sekarang. Ia tidak mungkin melupakan kenangan manis bersama bocah laki-laki itu. Jelas dia akan mengingatnya setiap hari. Sampai tua sekalipun.

Bocah laki-laki itu melepas pelukannya. Wajahnya penuh dengan air mata. "Aku harus membiarkanmu pergi. Aku tahu ini mimpimu. Kejarlah kakak." Ujarnya serak disertai senyum tulusnya.

Air mata Justin juga ikut jatuh mendengar Jaxon. Baginya, Jaxon adalah seperti adiknya sendiri. Inspirasinya, panutannya. Kerja keras anak itu mampu merubah pandangannya. Bahkan Jaxon seperti lebih dewasa darinya. Ia bangga pada bocah laki-laki itu.

"Aku akan mengingatmu Jaxon, Always."

***

Justin memasukan kopernya dibelakang mobil mewah milik Scooter. Dan lelaki tampan itu menatap Jeremy dan Jaxon yang berdiri tepat di halaman rumahnya. Sekilas mata hazel Justin menyapu pandangan rumah Jaxon. Rumah yang akan selalu ia ingat dan menjadi kebanggaan tersendiri jika ia bisa merubah rumah ini menjadi lebih layak lagi. Kakinya melangkah mendekati dua orang yang ia sayangi itu.

Justin memeluk jeremy. "Kau adalah Ayahku. Anggaplah aku anakmu sekarang, Daddy." Justin melepas Pelukannya. Menatap Jeremy yang tersenyum padanya.

Jeremy memegang kedua bahu Justin. "Dari awal kau datang," ditatapnya Justin penuh hangat. "Kau sudah ku anggap anakku sendiri dan menjadi kakak untuk anakku. Terimakasih telah membuat Jaxon kembali ceria."

Pandangan Justin jatuh pada bocah laki-laki itu. Ia tersenyum pada Justin. Dilepasnya tangan jeremy dan Justin berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Jaxon. Ditatapnya wajah Jaxon penuh kelembutan. Justin tersenyum tulus dan membawa bocah laki-laki itu kepelukannya. "Percayalah padaku. Aku tidak akan melupakan mu, Jagoan kecil!"

"Aku juga, Jagoan besar."

Justin melepas pelukannya, tersenyum tulus pada Jaxon. Mengacak pelan rambut pirang milik Jaxon sebelum akhirnya ia beranjak dari rumah itu.

Justin Mendekati Scooter dan Jonathan yang menunggunya di depan mobil. Kepala Justin menoleh kesamping, menatap dua orang itu tengah melambaikan tangannya. Justin membalasnya.

Justin memasuki mobil mewah itu diikuti dengan Scooter dan Jonathan.
Mulai berjalan membelah jalan kecil dipedesaan Los Angeles menuju kota besar yang sesungguhnya.

To be continued...

Christmas EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang