SAFM - BAGIAN SATU

5.6K 300 20
                                    

Pesta pernikahan yang begitu meriah, terlihat dari banyaknya tamu undangan yang hadir. Begitu mewah hingga membuat decak kagum pada setiap tamu undangan yang datang ke pesta tersebut. Seorang wanita yang kira-kira berumur empat puluh lima tahun terlihat begitu cantik dengan balutan kain kebaya khas Jawa. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki yang usianya terpaut lebih tua darinya tetapi masih terlihat begitu gagah. Satu jam yang lalu mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Raut kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Tak henti-hentinya mereka menyunggingkan senyuman kepada tamu undangan yang hadir malam ini.

Dari kejauhan berdiri seorang laki-laki muda yang sedang memperhatikan mereka berdua sejak tadi. Tangannya memegang gelas minuman dan matanya tak henti menatap pasangan bahagia di atas sana.

Dia tak tahu apakah harus bahagia atau sedih, melihat wanita itu-ibunya yang baru saja menikah lagi. Namun, dia juga tidak bisa menolak ketika wanita yang telah mengandungnya tersebut meminta izin untuk menikah dengan seorang laki-laki kenalan sahabatnya. Seorang pengusaha kaya yang memiliki perusahaan kontraktor.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat bagi wanita itu untuk hidup sendiri dan berjuang membesarkannya. Maka, hanya ini yang bisa ia berikan pada wanita itu sebagai bentuk balas budi, yaitu mengizinkan ibunya bersuami lagi setelah sepuluh tahun ditinggal mati oleh ayahnya.

"Selamat, Ma," ia bergumam sendiri dari kejauhan.

****

Pesta pernikahan telah usai satu minggu yang lalu. Ibunya sekarang berada di Singapura untuk berbulan madu. Mika—nama anak laki-laki tersebut sudah kembali ke Jakarta setelah dua hari tinggal bersama ibunya di Bandung. Dia teringat senyuman ibunya yang terlihat begitu bahagia setelah menikah lagi. Mika merasa keputusannya untuk mengizinkan ibunya menikah lagi adalah keputusan yang benar. Dia tidak menyesalinya. Walaupun pada akhirnya ibunya memutuskan untuk tinggal di Bandung bersama suami barunya.

Sebenarnya, ibunya mengajak Mika untuk tinggal bersama mereka, tetapi dia menolak karena kuliahnya yang tinggal sebentar lagi. Dia malas jika harus mengurus surat pindah dan beradaptasi lagi. Lalu pada akhirnya, Mika memutuskan untuk tinggal sendiri di Jakarta. Tak apa pikirnya, karena dia bukan anak kecil lagi. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Sejak usianya belasan tahun Mika sudah terbiasa ditinggal Shakina-ibunya bekerja di luar kota. Lagipula dia telah terbiasa mengurus dirinya sendiri.

Mika sedang bersiap untuk berangkat ke kampus, ketika ponselnya berdering. Mika mengangkatnya tanpa melihat nama si penelepon.

"Hallo?"

"Hallo, Mika, ini Mama."

Mika menjauhkan ponselnya dan melihat kembali caller id yang tertera di layar persegi panjang tersebut. Dia mengernyitkan dahi, karena di sana tertera nomor tidak dikenal. Dia mendekatkan kembali ponselnya ke telinga.

"Ada apa, Ma?"

"Mika, Mama hanya ingin mengabarkan kalau Mama baik-baik saja dan sangat bahagia."

Setelah tiga hari ibunya baru menelepon untuk memberikan kabar. Mika tidak terkejut sama sekali karena sudah terbiasa tanpa kabar dari sang Mama. Bahkan pernah ibunya hanya menghubunginya satu bulan sekali jika sudah sibuk di luar kota.

"Baguslah," Mika hanya menjawab sekilas seolah tak acuh.

Hening sejenak membuat Mika merasa ada sesuatu yang aneh dengan ibunya.

"Ada apa, Ma?" Mika bertanya kembali. Terdengar suara helaan napas dari ujung sana.

"Mika." Terdengar suara Shakina sangat hati-hati dan pelan.

"Iya, Ma."

Mika menunggu sejenak tapi belum ada balasan lagi dari ibunya.

"Ma, aku akan terlambat pergi ke kampus, jika Mama terus saja diam." Mika mulai jengah.

"Maafkan Mama. Bolehkah mama minta satu hal padamu?" tanya Shakina hati-hati.

"Katakan saja, Ma," ucap Mika.

"Ini tentang saudaramu, "ucap Shakina pelan.

"Saudara?" tanya Mika terkejut. Seingatnya, dia masih anak tunggal sampai detik ini.

"Maafkan Mama, sebenarnya Herman memiliki seorang anak yang seumuran denganmu."

Mika menghela napas. "Lalu?"

Mika merasa tak heran atau merasa bahagia ketika ibunya memberitahu jika dia memiliki saudara. Perasaannya masih sama, tak acuh.

"Dia akan melanjutkan kuliah di Jakarta, dan akan tinggal bersamamu di rumah kita."

Kali ini Mika baru merasa terkejut. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba ibunya menyuruhnya untuk berbagi tempat tinggal bersama saudaranya, ralat saudara tirinya. Lelucon apa ini, pikirnya.

"Ma, apakah tidak ada tempat tinggal lain, sampai harus tinggal bersamaku di sini?"  Mika merasa tidak rela jika harus satu atap dengan anak dari suami baru ibunya.

"Mika, bisakah kamu menuruti permintaan mama untuk sekali ini saja. Mama mohon, Sayang." Shakina mencoba membujuk Mika.

Mika menghela napas kembali. "Aku sudah terlambat pergi ke kampus."

Tanpa menunggu wanita di seberang sana membalas perkataannya, Mika telah memutus sambungan teleponnya.

Dia menyimpan ponselnya di saku celana dan bergegas menuju mobil untuk segera berangkat ke kampus.

****

Kelas pertama telah selesai tiga puluh menit yang lalu. Saat ini, Mika sedang berada di perpustakaan untuk mencari bahan tugas yang diberikan dosennya tadi. Namun, pikirannya tidak bisa fokus, karena masih teringat perkataan ibunya di telepon tadi pagi.

"Saudara? Cih... Siapa dia? " Mika bergumam sendiri. Dia menggeleng. Kenapa ibunya baru mengatakannya sekarang.

Mika berdecak, "Cih... Bukan urusanku."

Memang dia tidak terlalu dekat dengan ibunya. Karena Shakina terlalu sibuk dengan butiknya dan sering bepergian ke luar kota. Mika lebih dekat dengan sang ayah, tapi kecelakaan mobil telah merenggut nyawa laki-laki yang sangat dicintainya tersebut. Kematian sang ayah membuat Mika sedikit tertutup dengan dunia luar.

Setelah sang ayah meninggal, Shakina lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan hidup Mika. Bahkan sering meninggalkan Mika hanya dengan asisten rumah tangga selama beberapa minggu bahkan bulan. Dan Mika telah terbiasa dengan semua itu.

Ketika dia sedang melamun, ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk. Mika membacanya kemudian mengembuskan napas.
Pesan tersebut dari ibunya.

Besok, Ziyan akan mulai tinggal bersama kamu di Jakarta.

Mika membaca kembali pesan dari ibunya. Dia mengernyitkan dahi.

Siapa Ziyan? Apakah saudara tirinya?

Mika tak acuh dan tidak berniat untuk membalas pesan Shakina. Mika sudah hafal sifat ibunya yang tidak mau dibantah. Dia pasti tahu kalau Mika akan menolak. Maka dari itu Shakina tidak menelepon putra tunggalnya tersebut untuk meminta persetujuan kembali.

Mika menyisir rambutnya dengan kedua tangan. Mengambil napas kemudian membuangnya.

"Selalu saja seperti ini."

Mika beranjak dari bangku perpustakaan. Rasanya dia ingin pulang lalu tidur, tapi itu mustahil karena kelasnya akan mulai sepuluh menit lagi. Dia mulai melupakan pesan dari ibunya. Entahlah, dia tidak terlalu peduli bagaimana wajah Ziyan. Apakah dia seorang laki-laki atau perempuan? Atau bagaimana besok dia harus menyambut kedatangan seseorang yang sekarang menjadi saudara tirinya. Mika merasa itu tidak terlalu penting.

TBC

*Ps: No edit jika ada yang berniat bantu untuk edit saya sangat berterima kasih.

Vea Aprilia 😍

Ta, 1 May 2017

Stay Away From Me #100Day_Challenge _theWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang