Aji dan Nisa terus berlari tanpa henti sambil sesekali menengok ke belakang, memantau orang-orang yang sedari tadi mengejar mereka. Aji yang notabene memang cowok yang tercipta dengan fisik yang kuat terlihat biasa saja walaupun terus memacu kakinya untuk melanglah lebih jauh lagi. Sedangkan Nisa yang tidak biasa di ajak lari, tengah kesulitan mengatur napasnya tapi tetap memaksakan kakinya untuk melangkah.Langkah-langkah cepat milik mereka berdua membawa mereka entah kemana. Kemana saja yang penting selamat. Bahkan, mereka pun tak menghapal jalur yang mereka lalui. Sesekali klakson kendaraan menderu di telinga mereka. Segala umpatan keluar dari supir-supir yang merasa jalannya terganggu.
"Jhi..hosh..hoshh..Ji...gue...cape," ujar Nisa ngos-ngosan.
Aji menengok ke belakang, menelisik apakah empat orang kurang kerjaan itu masih mengikuti mereka atau tidak. Setelah dikiranya keadaan mulai aman, Aji memelankan langkahnya dan langsung melepas tangan Nisa yang sedari tadi ia genggam, membuat Nisa langsung meluruh di trotoar dengan napas yang memburu. Sedangkan Aji, ia mengistirahatkan tubuhnya dengan menumpukan kedua tangannya di lutut seperti orang yang sedang ruku'.
Mereka berdua tak memperdulikan tatapan orang yang melihat mereka dengan pandangan aneh. Jujur saja, sekarang memang sedang ramai-ramainya jalanan karena jam karyawan pulang kantor.
Aji mulai menegakkan badannya dan berjalan ke arah Nisa. Ia sedikit tak tega melihat Nisa seperti itu sejujurnya. Nisa perempuan dan fisiknya sudah pasti tak sekuat Aji.
Dilihatnya Nisa yang duduk bersimpuh di lantai trotoar yang kotor. Seragamnya yang sudah lecek dan basah. Rambut Nisa yang sudah acak-acakan ditambah dengan peluh yang mengalir deras di wajahnya membuat Aji sedikit iba. Dengan perlahan, ia mengulurkan tangannya ke arah Nisa, bermaksud membantu gadis itu berdiri.
Nisa mendongak menatap tangan yang terulur di depan matanya. Ragu-ragu, Nisa meraih tangan itu dan menjadikannya tumpuan untuk berdiri. Selagi berdiri, ia mendengar Aji berkata pelan, "Lo lagi, lo lagi."
Di tengah sembrautnya jalanan ibu kota saat sore hari, dua anak manusia yang berlawanan jenis itu menyusuri trotoar sambil berjalan bersisian. Menghalau sapuan angin bercampur debu yang berhembus ke segala arah. Nyaringnya bunyi mesin kendaraan hingga klakson mengiringi langkah mereka. Menjadi melodi syahdu.
Mereka saling bisu antara satu sama lain. Aji yang memang tak tau harus bilang apa dengan Nisa yang masih terlalu canggung mendapati Aji ada di sampingnya. Mereka terus berjalan tanpa tujuan. Menebak-nebak jalan yang bisa membawa mereka pulang.
Trotoar yang mereka pijaki membuka sedikit lebih lebar dan menampilkan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan dagangannya.
Aji menoleh ke Nisa, "Aus nggak lo?"
Nisa mengganggukan kepalanya hingga mereka berhenti di depan tukang es kelapa.
"Dua Bang," ucap Aji agak keras ke abang-abang yang menjual es tersebut. Nisa memperhatikan abang penjual es yang sedang memasukan esnya ke dalam plastik seperempat yang biasa ia beli di warung saat disuruh ibunya. Setelah selesai, Aji membayar jajanan mereka dan langsung saja berlalu sambil meminum esnya. Sedangkan Nisa yang tak tau jalan hanya mampu tersenyum kepada abang penjual esnya sambil mengucapkan kata terima kasih dan langsung mengikuti langkah Aji yang ada di depannya.
Tak jauh dari tempat mereka berjalan, ada sebuah halte yang cukup sepi. Aji langsung mengambil posisi di sana dan mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu dengan serius hingga tak menyadari bahwa Nisa sudah duduk di sampingnya sambil minum es kelapa.
"Kabarin bonyok lo sana! Ini udah lewat banget dari jam balik," Aji berseru kepada Nisa tanpa memandangnya. Pandangan Aji lurus ke depan ke arah jalan yang macet total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nisa dan Jenderal
Teen FictionSemua orang juga tau jika Nisa merupakan siswa cerdas. Wajar sih, kerjaannya hanya belajar, belajar, dan belajar. Tapi itu sebelum dia kena masalah dengan Aji. Aji si biang onar, letnan dalam tawuran, anak paling bodoh dalam urusan hitung-hitungan...