Suara jangkrik memecah dinginnya malam yang hening. Hanya ada dua anak manusia di sebuah atap gedung tua yang cukup tinggi. Dihadapannya membentang Jakarta di tengah-tengah polusi udara. Hanya keheningan dan kabut duka yang membayang di kedua mata mereka.
Salah satu dari dua anak manusia itu bersandar pada meja seukuran meja makan yang sudah reot, sedang yang satu lagi berdiri bungkuk dengan menumpukan kedua tangannya di besi pinggir atap yang sudah berkarat. Hanya ada mereka, angin, dan duka yang membayang, kenangan yang tak terlupakan.
“Tiga tahun, Ji…” ucap Roni yang didengar jelas oleh Aji. Mata Roni menerawang ke depan menatap entah apa. Tak berani ia berbalik dan menatap Aji yang ada di belakangnya. Di tangannya terselip sebatang rokok yang hampir habis. Asap nikotin itu sedikit mengepul.
Aji menenggak soda kalengannya. Merasakan sensasi menyetrum di kerongkongan. Untuk kesekiankalinya, ia merasa amat sulit menelan apapun. Matanya ke depan, tapi tak tertuju pada Roni. Dia hanya diam, tak ada tanggapan dari apa yang diucap Roni. Lagi-lagi Aji hanya menenggak sodanya dan diam.
“Tiga tahum dimana gue udah nggak bisa tidur nyenyak lagi di bulan September,” lanjut Roni dengan nada parau. Akhir dari kalimatnya diiringi tawa pelan yang menyedihkan.
“Kenapa lo hanya diam? Gue akan merasa sangat lega kalo seenggaknya lo habisin gue malam ini,” kata Roni lagi.
“Nggak ada gunanya. Sebonyok apapun lo nanti, nggak akan bisa bawa yang udah pergi balik lagi,” kata Aji. Kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.
“Atau setidaknya lo maki-maki gue, Ji. Jangan diem dan bertingkah seperti gue nggak pernah nyakitin lo,” balas Roni sambil memperhatikan abu rokoknya berhamburan jatuh.
“Kita udah gede, Ron. Kita sama-sama tau, menghardik keadaan nggak akan merubah apa-apa,” balas Aji.
Lalu hening lagi.
“Ini hukuman lo. Biar lo bawa semua rasa bersalah lo sampai sembuh dengan sendirinya. Nggak perlu marah hanya untuk sekedar nyakitin lo. Kita sama-sama tau bahwa kita rapuh di porsinya masing-masing,” kata Aji tiba-tiba. Namun, kali ini Roni yang diam.
“Gue kangen, Bang. Kangen banget,” ucap Aji, “gue butuh Dia untuk terus sama gue. Dia masih punya hutang muncak sama gue di Rinjani. Hutang yang bahkan belom bisa gue ikhlasin walau orangnya udah nggak sama gue.
“Gue pengen banget ngikuti ego. Benci lo, nyalahin lo, menghardik keadaan seakan-akan gue adalah mahkluk paling menyedihkan. Tapi gue tau, gue nggak boleh lebih hancur dari saat itu. Cukup buat gue kehilangan ayah, gue nggak bisa kalo harus kehilangan abang kayak lo,” tutup Aji dengan suara bergetar.
Roni membalik badannya. Menatap mata Aji yang memerah. Bibirnya terbuka, lalu tertutup lagi. Malam itu dingin, tapi ada hati yang menghangat.
***
Setelah jeda yang cukup lama, mereka melanjutkan obrolan singkat yang tadi sempat terhenti.
“Cewek lo apakabar?” Kata Roni menyambung pembicaraan.
“Cewek mana?” balas Aji.
“Siapa lagi sih cewek lo? Si Anak Pinter,” lanjut Roni sambil terkekeh.
“Sejak kapan dia jadi cewek gue? Omongan lo nggak berdasar,” balas Aji yang sudah menghempaskan sisi melankolisnya beberapa menit yang lalu.
“Gausah munafik, suka kan lo sama si Nisa Nisa itu?” kata Roni yang sebenarnya adalah retoris.
“Kok diem? Bener kan apa yang gue bilang? Gue pikir selama ini lo homo sama Sultan. Untung dugaan gue nggak bener,” lanjut si Abang kelas itu.
Aji menghela napas. “Ya emang kenapa kalo gue suka sama dia? Nggak salah kan?” jawab Aji sambil memainkan kaleng sodanya.
Jawaban Aji membuat Roni terkekeh geli. “Nggak ada yang bilang perasaan lo salah. Yang salah adalah ketika lo bilang lo suka sama seseorang, tapi lo nggak ngelakuin apa-apa,” jawab Roni.
Hal itu membuat Aji terdiam. Memikirkan kata Roni, Ia sama sekali tak mampu menbayangkan tindakan apa yang akan dia lakukan mengingat perasannya dengan Nisa yang hadir entah kapan. Memang sialan! Seharusnya sejak awal dia berhati-hati karena dia sepenuhnya mengerti bahwa perasaan datangnya nggak pakai permisi. Namun sudah terlanjur, diam-diam Aji memperhatikan. Diam-diam Aji memendam. Diam-diam…Aji sudah sayang.
“Gue nggak nemu hal apa yang harus gue lakuin ke Nisa. Bagi gue, suka sama dia ya yaudah. Cukup suka, sukup sayang. Ini perasaan, Bang, bukan pengungkapan. Perasaan gue biar jadi urusan gue. Gue terima bahwa gue udah suka sama tuh anak. Tapi untuk melakukan sesuatu berdasarkan apa yang gue rasain, itu urusan lain.” Kalimat yang keluar dari bibir Aji cukup panjang rupanya.
“Terserah lo. Cuma, Ji, seperti yang gue bilang, bohong namanya kalo lo suka seseorang tapi lo nggak melakukan apa-apa,” sambar Roni sambil membuang puntung rokok yang bahkan tak dihisapnya sama sekali dan membiarkan puntung itu bercumbu dengan alas sepatunya.
“Ya memang terserah gue. Biar aja gue bohong ke semua orang, tapi gue tau kalo gue nggak bohong sama diri gue sendiri,” balas Aji menanggapinya dengan malas.
“Emang lo nggak mau coba dulu?” tanya Roni.
“Males. Tanpa gue niatkan juga nantinya gue bakal bersimpangan lagi sama dia. Lagian gue takut terlalu romantis buat dia yang apatis. Hahahaha…”
Di tengah malam yang gerah di Jakarta, Aji merutuk dalam hati. Urusan dia memang hanya sampai di menyukai gadis anomali seperti Nisa. Cukup sampai di situ. Karna untuknya, menyukai Nisa pun sudah bagian dari perjuangan. Perjuangan untuk tidak menunjukan pada siapapun bahwa kini ada ruang di hatinya yang sudah terisi.
“Gue cuma suka. Itu cukup. Gue nggak mau nuntut.”
//
27 Mei 2019, 00.10 AM
//
KAMU SEDANG MEMBACA
Nisa dan Jenderal
Novela JuvenilSemua orang juga tau jika Nisa merupakan siswa cerdas. Wajar sih, kerjaannya hanya belajar, belajar, dan belajar. Tapi itu sebelum dia kena masalah dengan Aji. Aji si biang onar, letnan dalam tawuran, anak paling bodoh dalam urusan hitung-hitungan...