0. Awal yang Bersambung

441 41 4
                                    


"Kamu ambil IPA!"

Aji menoleh cepat ke arah suara, dimana di sana berdiri Aris Riswandar, kakak kandungnya.

"Apa?" tanya Aji sambil memicingkan matanya. Menatap tegas perempuan yang sedang bersandar di meja makan.

"Kamu masuk IPA," kata perempuan itu.

Wajah Aji mengeras, "Aku nggak mau."

"Mbak nggak mau tau, kamu harus masuk IPA. Mbak yang akan carikan sekolahnya."

Kali ini tatapan mata Aji benar-benar berubah. Wajahnya memerah dan matanya melotot. "Kan aku udah bilang, aku nggak mau masuk IPA! Aku nggak cocok di IPA, Mbak!!!" Aji murka.

"Kan bisa belajar, Ji! Masih ada tiga tahun sebelum kamu masuk Fakultas Kedokteran di UI!" Mbak Aris tak mau kalah.

"Mbak, berapa kali sih Aji harus bilang, Aji nggak niat jadi dokter! Aji bego di IPA. Aji mau jadi kayak Ayah!"

"NGGAK!!! Kamu akan masuk IPA dan jadi dokter. Titik."

Telapak tangan Aji mengepal keras, "Ini hidup Aji, Mbak. Aji mau masuk SMA negeri, ngambil IPS. Lalu, Aji akan masuk sekolah perwira!" Aji melayangkan tatapan tajam ke Mbaknya. Suaranya mantap dan tak goyah.

"Sayangnya, Mbak udah daftarin kamu di Cendrawasih, jurusan IPA. Kamu tinggal masuk aja." omongan Mbak Aris benar-benar menghabiskan stok sabar Aji.

"APA?! MBAK GILA?! CENDRAWASIH ITU MAHAL, MBAK! LAGI PULA AKU MAU JADI TNI! AKU NGGAK MAU JADI DOKTER!!! MBAK KIRA BIAYA KEDOKTERAN MURAH?! HAH?! AKU NGGAK MAU NGEREPOTIN MAMAH!"

Wajah Mbak Aris menegang mendengar bentakan, "Biarin urusan biaya jadi urusan Mbak. Kamu cukup sekolah yang pinter dan jadi dokter yang sukses."

Aji sudah akan membuka mulutnya, mengeluarkan opininya yang belum keluar. Namun, lagi-lagi Mbak Aris menyelanya, "Kamu bilang nggak mau ngerepotin Mamah, kan?! Mbak udah bayar uang muka, kalo kamu nekat masuk SMA negeri, sama aja kamu buang-buang uang Mamah. Kalo kamu nekat, kamu bakal nyakitin Mamah. Jadi, terima aja, Ji. Dan jalani dengan baik," kata Mbak Aris sambil berlalu. "Oh ya, nggak akan ada lagi TNI dalam keluarga kita. Nggak akan ada lagi,"

Mbak Aris benar-benar pergi. Meninggalkan Aji yang amarahnya sudah berganti kecewa. Tubuh tegap itu meluruh di lantai. Perlahan, air matanya menetes melewati pipinya. "Aji mau kayak Ayah, Mbak. Aji punya cita-cita sendiri. Aji nggak mau jadi dokter, Mbak."

Suara itu amat lirih dan meninggalkan kesan duka yang dalam. Sejak pertama kali mbaknya itu menyuruhnya masuk IPA dan jadi dokter, Aji sudah berpikir untuk nekat. Namun, saat ini sudah terlambat. Jika ia melancarkan aksinya, ia akan menyakiti mamahnya. Dan menyakiti mamahnya adalah hal terakhir yang akan Aji lakukan.

✩★✩★✩★

"Bu..." Nisa duduk di samping ibunya yang sedang menonton televisi.

"Kenapa?"

"Nisa masuk mana ya, Bu? Nisa bingung," katanya sambil mengunyah kacang polong yang tersedia di meja di hadapannya.

"Ya terserah kamu," jawab ibunya santai.

"Ish, Ibu... Nisa bingung," katanya sesikit kesal.

"Emang kamu mau jadi apa nanti?" tanya ibunya.

"Nggak tau."

Ibunya menoleh ke Nisa, "Saran ibu sih, kamu masuk IPA aja dulu. Biar gampang nantinya."

Nisa mengangguk-anggukan kepalanya, "Iya sih, Bu. Aku juga memang niat masuk IPA, soalnya aku suka IPA."

Lalu hening sebentar.

"Kira-kira, nanti aku jadi apa ya, Bu?" tanya Nisa lagi.

"Lah, mana Ibu tau. Hidup, hidupmu. Yang ngejalanin kuga kamu. Ya tanya sama dirimu sendiri. Jangan tanya Ibu," ujar Ibu sambil mengacak rambut Nisa dan bangkit dari duduknya, "dapat nem tertinggi di sekolah, tapi ndak tau mau kemana! Nisa...Nisa..."

Nisa terdiam setelah kepergian ibunya. Otaknya berdesing nyaring. Selalu seperti itu. Kepada siapa pun ia bertanya, jawabannya pasti "terserah". Ia hanya remaja yang perlu nasehat dan arahan, jika semua jawabannya terserah ya buat apa?

Nisa suka belajar. Nisa suka membaca. Nisa suka mendapat nilai sempurna. Seperti UN kemarin misalnya, ia mendapat nem 38,75 dari 4 mata pelajaran. Nilai IPAnya 10,00 dan MTKnya 9,75. Bahasa Indonesianya 9,40 dan bahasa Inggrisnya 9,60. Apa yang lebih baik dari itu?

Namun, Nisa tak tau nilai itu harus diapakan. Nisa tak punya tujuan, satu-satunya tujuan hidup Nisa selain masuk surga adalah menjadi orang sukses. Bagaimana caranya, ia tak tau. Obsesi Nisa adalah selalu mendapat nilai yang sempurna, selalu menjadi peringkat pertama, masuk universitas negeri terkemuka, ngambil S2 di luar negeri, kalau bisa lanjut hingga S3 dengan beasiswa. Namun, jurusan apa, Nisa tak tau. Nisa tak punya cita-cita.

✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩

●Selamat Datang●

With love,
Adel❤

Nisa dan JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang