Setelah mengambil motornya di sekolah, Aji langsung pulang. Tadi saat di halte bersama Nisa, ia sudah mengabari Roni bahwa mereka baik-baik saja.Matanya menjelajah jalanan yang diterangi temaram lampu kuning dan lampu kendaraan yang masih saja ramai di malam hari. Semilir angin mengusik kulit Aji dengan jahil, membuat sang empunya sedikit bergidik kedinginan. Seragam SMAnya yang sudah tak berbentuk sesekali menggembung tertiup angin. Ia memang tidak membawa jaket hari itu. Suara mesin vespa merahnya membelah kebisingan ibukota.
Tak lama, motor itu memasuki sebuah komplek besar di daerah Jakarta Barat. Cendrawasih memang ada di pusat kota sehingga tempat itu strategis dijangkau dari arah manapun.
Saat tiba di depan rumah yang cukup besar, Aji mematikan mesin motornya. Cowok itu membuka pagar rumahnya secara perlahan dan sangat hati-hati. Dengan malas, Aji mendorong vespanya memasuki pekarangan rumah dan memarkirkannya di dekat pohon Kembang Sepatu yang tumbuh subur.
Rumah itu kental akan aksen kayu yang terlihat klasik dan kuno. Di halamannya, banyak pohon bunga dan pohon buah yang tumbuh subur dan terawat. Rumput-rumput liar pun terpangkas rapi sehingga bukannya mengganggu malah memberikan kesan asri.
Aji berjalan di atas batu-batu kerikil yang tersusun di semen. Jalan kecil yang membawanya menuju teras rumah. Tepat sebelum kaki berbalut sepatu itu menginjak ubin cokelat di depannya, ia berhenti. Menanggalkan sepatu converse butut beserta kaus kaki dari kakinya yang besar. Setelah itu Aji menepikan sepatunya ke rak dan akhirnya berjalan masuk ke dalam.
Aji membuka pintu depan sambil mengucap salam. Kaki telanjangnya membawa tubuh tegap itu menjelajahi lantai marmer. Ruang tamu dalam keadaan sepi. Hanya lampu ayam berwarna kuning yang menyala. Kursi empuk dengan lengan kayu beserta meja kayu bundar menjadi objek dominan di ruangan itu.
Di depannya ada lorong kecil dengan dua anak tangga. Lalu ruangan membuka menjadi lebih besar. Tepat di tengah ruangan ada sofa besar dengan meja persegi bewarna soft. Lantai yang menjadi tempat sofa itu dilapisi dengan karpet bulu. Tepat di hadapan sofa itu terdapat meja kayu dengan ukiran yang cukup rumit, di atasnya terdapat sebuah televisi yang cukup besar dengan DVD player. Ruangan bundar itu di kelilingi ruangan kecil lainnya yang ternyata adalah kamar-kamar. Satu kamar Aji. Satu kamar kakaknya. Dan satu lagi kamar orang tuanya.
Rumah itu sepi. Seperti kosong kesannya, tapi sayup-sayup terdengar lantunan suara orang mengaji. Suaranya lembut dan halus. Bacaan Al-Qur'annya pun lancar dan tartil. Aji mendongak melihat jam dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 18.32. Aji melempar tasnya ke sofa. Tangannya bergerak ke arah seragam, membuka kancing-kancing bajunya dan menyisakan kaos dalaman yang berwarna putih polos. Baju kotor itu ikut menumpuk di atas tasnya.
Buru-buru Aji melangkah menuju kamar mandi, menyalakan keran air dan mulai membasuh kedua telapak tangannya, dilanjutkan dengan kumur-kumur, membasuh hidung, hingga akhirnya membasuh wajahnya yang berdebu. Aji menarik air mengaliri tangannya hingga ke siku, lalu cowok itu menadahkan tangannya untuk menampung air dan membasuhkan ke seluruh rambutnya. Dilanjutkan dengan membasuh telinga sampai selesai di kakinya. Aji keluar dari kamar mandi dengan tetes air yang masih mengalir. Lalu ia membuka salah satu pintu cokelat dengan cara menggesernya.
Rupanya dari ruangan itu suara orang mengaji terdengar. Tepat di tengah ruangan, ada satu ranjang besar dengan seprai berwarna biru dengan motif bunga-bunga. Lalu ada satu lemari kayu besar dan televisi. Ada pendingin ruangan yang menyala. Seseorang berbalut mukena putih sedang duduk di atas ranjang sambil membaca Al-Qur'annya. Saat Aji masuk, wanita itu langsung menolehkan kepalanya. Senyun teduhnya langsung terlihat.
"Baru pulang?"
"Heeh," jawab Aji menganggukan kepalanya. Ia langsung masuk dan mengambil sajadah yang ada di ujung ranjang. Menggelarnya dan mulai mengambil posisi, "numpang solat, Mah," ujar Aji pelan tanpa bilang apa-apa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nisa dan Jenderal
Teen FictionSemua orang juga tau jika Nisa merupakan siswa cerdas. Wajar sih, kerjaannya hanya belajar, belajar, dan belajar. Tapi itu sebelum dia kena masalah dengan Aji. Aji si biang onar, letnan dalam tawuran, anak paling bodoh dalam urusan hitung-hitungan...