12. Diskusi Meja Makan

373 46 10
                                    


Sehabis maghrib tadi Nisa baru sampai di rumah ini. Sesiangan; bersama Gita, Wina, dan Nia; Nisa menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan seperti remaja pada umumnya. Ke mall, liat baju-baju, nongkrong di kedai kopi, makan di salah satu restoran junk food, nonton bioskop, ke gramedia, dan hal monoton lainnya. Ya, bagi Nisa semua itu hanyalah hal monoton. Belajar dan baca buku jauh lebih asik untuk gadis 16 tahun tersebut.

"Nisa..."

Nisa tertegun dari tidur ayamnya. Badannya menegak dan buru-buru ia bangkit dari rebahnya.

"Turun, Nak! Makan dulu!" kata Ibu kencang.

"Iya, Bu. Aku turun," jawab Nisa.

Gadis itu membenahi ikat rambutnya sambil berjalan menuju ruang makan. Langkahnya terasa ringan menuruni tangga kayu menuju ruang makan. Suasana yang sepi membuat suara langkah kakinya terdengar nyaring, membentuk sebuah irama tak beraturan yang menggema terpantul dinding-dinding kokoh.

Sesampainya di sana, ayah dan ibunya sudah duduk di kursi makan yang melingkar. Meja makan bundar itu pun sudah sepenuhnya terisi dengan menu makan malam, mulai dari nasi, ayam goreng, tumis kangkung, sepiring buah segar, juga seteko air putih dan teh manis; piring, gelas, sendok, dan garpu. Semuanya sudah tertata rapi di meja.

Kehadiran Nisa memecah percakapan yang tercipta antara suami-istri di sana. Mereka menoleh, menatap penuh cinta terhadap sang putri semata wayang. Senyum hangat terbit dari bibir Nisa.

Nisa menarik kursi tepat di samping ayahnya, "Maaf ya aku lama. Ketiduran tadi."

Mereka memulai ritual makan malam. Di tengah kegiatan itu, bulir-bulir percakapan mulai terjadi.

"Tumben tidur jam segini?" tanya ayah kepada Nisa sambil menyuap sesendok nasi.

"Capek. Tadi kan ulangan terakhir, Yah, terus juga tadi main seharian sama Gita, Nia, dan Wina."

Ayah Nisa mengangguk-angguk, "Udah lama ya teman-teman mu itu tak main ke mari?"

"Waktu itu sempet main kok, Yah. Cuma ya sudah nggak sesering biasanya. Sudah pada sibuk sama urusannya masing-masing. Lagi pula, waktu mereka main juga Ayah lagi nggak di rumah," Nisa menjawab panjang lebar setelah meneguk minumnya.

"Wajar lah. Sudah kelas sebelas. Makin banyak tuntutan untuk kedepannya," kali ini ibu yang menjawab, seolah ikut masuk ke dalam pembicaraan antara ayah dan anak itu.

"Ayah tumben makan malam di rumah. Biasanya ayah pulang larut terus," Nisa mengalihkan pandangannya dari buah di hadapannya, menoleh ke arah ayahnya.

"Iya nih, Nis. Maaf ya. Di kantor, pekerjaan ayah lagi numpuk dan nggak bisa dibawa pulang. Mau nggak mau ayah harus ambil jam lembur," jawab Ayah sambil mengacak rambut Nisa.

"Maksud Ayah banyak kasus yang kebongkar?" Nisa menjawab sekaligus mencibir tak sopan. Sedangkan ayahnya hanya melirik sambil tersenyum kecil.

"Ya gitu deh, Nis."

Nisa menyelesaikan kegiatan makannya. Dengan dentingan yang cukup kencang, ia menghempaskan garpu ke piring buahnya, "Setelah kasus BLBI, Century, Hambalang, pajak, Al-Qur'an, daging sapi, Freeport, dan e-KTP yang bahkan belum selesai, kali ini apa lagi, Yah?"

"Penjualan ilegal pasir dan kayu di Kalimantan dan korupsi dana reboisasi dan penanggulangan kerusakan lingkungan."

"Lah, sama kayak kasus tahun 2005 dong?" Nisa menegakkan badannya secara tiba-tiba.

Ayah Nisa mengangguk.

"Tersangka utamanya?" tanya Nisa sementara ibunya membereskan makanan sambil menyimak.

Nisa dan JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang