10. Jujur, Kamu Cantik

312 44 5
                                    


Hari ini adalah hari Sabtu sekaligus hari terakhir UTS dengan jadwal IPA dan Bahasa Inggris. Jujur saja, untuk Bahasa Inggris, Aji merasa pede, Aji memang menyukai sastra Inggris. Namun untuk IPA, Aji angkat tangan. Cowok itu bisa mengusahakan untuk biologi dan kimia, tapi untuk fisika Aji menyerah. Sudah sejak kelas satu SMP Aji paling malas dengan yang namanya hitung-hitungan. Fisika dan matematika merupakan musuh utamanya.

Aji memarkir vespa merahnya di parkiran sekolah. Setelah melepas helmnya, Aji berjalan menyusuri koridor untuk mencapai kelasnya. Tak lama berjalan, lengan berat seseorang sudah bertumpu di seragamnya yang kali ini adalah putih abu-abu karena memang sebenarnya hari Sabtu adalah hari libur di Cendrawasih.

Aji melirik ke arah orang yang sedang merangkulnya sok akrab itu, ternyata Sultan. Mata hitam Sultan menangkap mata Aji yang sedang meliriknya, "Apa liat-liat? Nggak suka lo gue pegang-pegang? Hah?! Nggak suka?! Yaudah! Sana...sana...hus...hus...!"

Sultan berkoar seperti orang kesurupan sambil melepas rangkulannya dari bahu Aji dan mendorong-dorong tubuh Aji tanpa arah. Untung saja koridor sepi.

Kelakuan Sultan mengundang gelak tawa Roni, Erwin, dan Dui di belakang, sedangkan Aji memandang Sultan horor. "Kamu maho sekarang, Mas?" tanya Aji ketakutan dan menyilangkan tangan di dadanya. Hal itu membuat Roni, Erwin, dan Dui makin ngakak.

"Ah! Males ah kalo udah bawa-bawa maho! Kamu nggak asyik!" jawab Sultan dengan nada merajuk. Sempat-sempatnya jemari lentik Sultan menoel dagu Aji.

"Idih! Najis ah! Jangan noel-noel gitu dong! Geli!" Aji panik sendiri sambil menggosok-gosok dagunya seakan membersihkan kulitnya dari sentuhan Sultan.

"Ah, Adek mah, baru Abang toel dagunya aja udah geli. Gimana kalo Abang toel yang lain?" kali ini suara Sultan benar-benar terdengar menjijikan. Aji pun buru-buru menjauh dari Sultan.

"Kalo Abang toel yang lain, Adek enak, Bang..." Dui menanggapi pertanyaan Sultan. Sontak mereka berlima tergelak di koridor.

"Anjir banget lah!" ujar Roni.

"Bangke! Gila Dui gilaaaa..." kata Erwin.

"Sini Ji, deketan!" seru Sultan setelah mengatasi tawanya. Aji yang tadi masih menjaga jarak kembali mendekat ke arah kakak kelasnya itu. Tangan Sultan kembali merangkul Aji.

"Rangkul aja, jangan raba-raba!" kata Aji galak membuat Sultan terkekeh mengedipkan matanya genit.

"Tuh kan...tuh... males ah gua!" seru Aji horor.

"Iye...iye... baru sama gue aja salting lo, Ji. Dasar duda kurang pengalaman!"

"Elo tuh!"

"Ntar malem nginep ye, Ji..." kata Dui ikut merangkul Aji dari sebelah kanan karena Sultan sudah merangkulnya dari sebelah kiri.

"Nginep aja..."

"Oke. Nanti balik langsung ke rumah lo! Tunggu di pos satpam aje ye!" ujar Erwin dari belakang.

Aji menoleh, "Lah, emang lo udah pada bawa baju?"

"Belom..." jawab Roni santai, "nanti kita pinjem baju lo aja. Males pulang, nggak ada bensin."

"Si anying!"

Mereka ngobrol dengan seru seraya memboikot jalan. Seorang gadis yang sedari tadi berjalan di belakang mereka merutuk kesal. Ia ingin cepat-cepat sampai di kelas. Dengan berani, cewek itu berujar cukup kencang, "Permisi, maaf..."

Kelima cowok itu menoleh dan mendapati seorang Nisa sudah berdiri di belakang mereka dengan senyum yang dipaksakan. Samar-samar, terdengar suara Sultan yang sedang menahan tawa.

Nisa dan JenderalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang