TR*6

19.3K 3.2K 133
                                    

Aku mengusap wajah dengan kedua tanganku. Rasanya luar biasa lelah. Aku merebahkan tubuhku diranjang sambil melepaskan sepatu yang terlepas dibawah kakiku yang menggantung ditepi tempat tidur. Aku menaruh punggung tanganku diatas dahi yang terasa hangat. Memejamkan mata yang terasa berair. Memiringkan kepala dan membuka mata yang seketika tertumbuk pada photo pernikahanku dengannya.

Photo yang ada didinding rumah ini semuanya sama tak ada yang berubah. Bie dan Qie tak rela photo-photo yang ada abinya diturunkan. Yang mereka tahu abinya Ali, uminya Prilly.

"Photo yang ada Bie dan Abi jangan diturunin ya umi, biarin disitu saja siapa tahu umi kangen sama kita..." pesan Bie sebelum dibawa Abinya dengan deraian airmata.

"Qie yang akan jaga photo kakak dan abi..." sahut Qie dan merekapun berpelukan.

Setiap mengingat mereka saat harus dipisahkan status kami, airmataku selalu saja meleleh. Mereka tak tahu apa-apa tentang perasaan umi dan abinya tapi mereka harus menjadi korban keegoisan. Aku sadar itu. Tapi mau bagaimana? Abi dan Uminya sudah tak bisa seiring sejalan lagi.

"Bukan tak bisa tapi tak mau..." ujar Aira tadi sebelum aku pamit pulang.

"Ck. Sotoyy...!" sahutku tak terima.

"Bukan sotoy, tapi sangat terlihat, kamu sama Ali itu pasangan yang tak disangka bakal cerai berai begitu, kelihatan adem ayem, ternyata  mengejutkan!" Kata Aira lagi.

"Ya karna kita selama ini lebih memilih menyelesaikan persoalan didalam rumah, diluar rumah tak perlu ribut, bukan kapasitas oranglain..." jelasku disambut delikannya.

"Bagus kalau begitu, oranglain nggak perlu tahu apa yang terjadi didalam,  nggak bisa bantu apa-apa juga, cuman bisa bantu doa, itu juga kalau tulus doain...." sahut Aira lagi membuat aku tersenyum mencium pipinya sebelum say goodbye lagi.

"Kalau terlalu banyak yang bicara, kebanyakan bisikan Ai, iya kalau bisikan malaikat, kalau bisikan valak  bisa tambah runcing..." ucapku diiringi decakannya.

"Tapi kalau mikir sendirian juga kacau kayak kamu Pi, pikiran kamu kurang bener perlu dirukiah!"

"Haihhh....."

Aku melotot dan Aira benar-benar tertawa melihat ekspresiku ketika dia mengatakan aku butuh dirukiah. Enak saja.

»»»»»

"Amiii....amiii...jangan tinggalin Bie, jangan tinggalin Bieeeee.........!!!"

"Biee...Biee...Biee...sayanggg...udahhh!"

"Umi nggak tahu, umi nggak paham, ami itu seperti abinya Bie, kalau dia pergi siapa yang dampingin umi Alia, umi Alia jadi sendirian, nanti jalan-jalan sama Bie dan Qie nggak lengkap, Bie mau berempat, Bie nggak mau bertiga, Amiiiiiiiii........"

"Umi paham, umi ngerti Bie sedih, umi..."

"Mana umi ngerti?? Umi nggak pernah paham, umi aja nggak mau jalan bareng kita, umikan mikirin diri umi sendiri, yakan miii??"

Aku terhenyak mendengar ucapan Bie. Teriakannya membuat telingaku berdenging. Airmataku yang sedari tadi ikut tumpah karna terbawa perasaan Bie yang bersedih karna Ami Awi-nya menghembuskan napas terakhir kini bertambah sebab melelehnya dengan ucapannya itu. Aku memikirkan diri sendiri. Aku tak memahami dia. Aku tak mengerti keinginannya.

"Bie, udah sayang, ikhlasin Ami ya Ikhlasin sayang..." suara Kak Alia yang bergetar disamping jenazah suaminya membuat Bie melepas pelukanku dan menghambur kepelukannya.

"Amiii, kenapa ninggalin umi Alia, kenapa ninggalin Bie dan Qie .....?"

"Sudah ya, doain Ami tenang disisi Allah, doain ya sayang, inget pesan Ami ya, jadi anak yang sholehah, sayang sama umi dan abi, doain orangtua bie yang terbaik ya..."

Time ReleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang