TR*15

21.4K 3.3K 207
                                    

"Bie sama Qie nggak mau ketempat umi? Umi sendirian lho..."

"Abi masih sakit kakinya mi."

Diujung telpon jawaban Bie membuat Pie sedikit merasa tersisih.

"Nggak mau nemenin umi?" tanya Pie.

"Umi mau kesini nggak?" Bie balik bertanya.

Pie mengusap wajahnya. Bukan tidak mau, Lie saja tak pernah memintanya datang. Tidak mengabari berarti memang tidak berharap dijenguk. Lagipula Bie dan Qie bilang hampir setiap malam banyak teman-teman Lie yang datang menjenguk. Rasanya Pie jengah saja bertemu dengan mereka.

"Tante Ley aja udah berapa kali mi kesini, tapi kalau ada tante Ley pasti ada oma atau umi Alia trus ada Bie dan Qie juga."

"Ngapain tuh tante kalian datang mulu?"

"Tante kita? Noooo...."

Pie tertawa tanpa suara. Ngapain sih mancing anak-anak? Udah tau mereka nggak suka. Pie tersenyum kecil. Agak lega anak-anaknya tak terkontaminasi wanita itu. Tiba-tiba merasa tak suka bukan hanya karna wanita itu terkesan mepetin Lie, tapi juga tak suka kalau anak-anak keseringan bergaul sama dia malah dia bisa mengambil hati anak-anak. Kalau Bie dan Qie tiba-tiba suka dan menjodoh-jodohkan abi mereka gimana dong? Ah, Pie jadi galau.

"Kaki abi kok lama banget sembuhnya?"

"Nggak tau tuh lama, mi, tapi sering di cek up kedokter kok dibawa sama oma."

"Oma disitu terus?"

"Ganti-gantian mi sama umi Alia, yang penting ada Bie dan Qie abi aman mi!"

"Kasian ya umi Alia, gimana dedek yang diperut umi Alia?"

"Dedeknya nggak bikin umi Alia rewel kok, umi Alia seger..."

"Syukurlah, salam ya sama umi Alia..."

"Nggak sekalian salam sama abi, mi, doain gitu semoga cepat sembuh!"

"Ya, semoga cepat sembuh!"

"Yeaayyy..."

Teriakan disebrang sana membuat Pie tersenyum. Begitu saja anak-anaknya sudah kesenangan. Pie terkadang merasa bersalah. Kenapa memberi rasa senang pada mereka aja terkesan susah. Egoiskah? Egoiskah kalau sekarang ia harus mempertahankan egonya hanya demi sebuah rasa gengsi karna tak mau lebih dulu mencoba membangun komunikasi hanya demi anak-anak? Diapun merasa tak ingin jatuh kelubang yang sama?

Dengan mendekatkan diri pada Lie lagi pastinya ia akan semakin tak bisa move on. Pie merasa tak bisa bersikap wajar. Dia tak mau terkesan cemburu dan panas sendiri melihat wanita lain. Pie juga nggak mau gagal move on sendirian jika ternyata Lie sudah bisa move on darinya.

"Jangan kuatir ya mi, bie dan qie cuma mau jaga abi disini, kita sayang sama umi, makanya kita jagain..."

Pie merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan sikap anak-anak. Bukan anak-anak tidak sayang padanya lalu lebih sayang pada Lie. Justru Bie dan Qie begitu sayang pada mereka hingga harus bersikap seakan menjaga abinya dari godaan syetan yang terkutuk.

»»»»»»»

"Bi...." Bie mendekati Lie yang sedang berbaring dikasur dengan kaki yang diperban dan disangga dengan guling.

"Ya?" Lie mengubah arah pandang dari tv pada putrinya yang mendekat dan duduk disampingnya berbaring.

"Ada surat dari sekolah, Bie,"

"Surat apa?"

"Undangan pentas seni, bi!"

"Undangan pentas seni tapi kok wajah Bie murung?"

Time ReleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang