TR*16

20.3K 3.3K 224
                                    

Tepukan riuh orangtua murid yang menghadiri pentas seni siang itu mengisi gedung kesenian sekolah ketika beberapa anak menyelesaikan tariannya.

"Penampilan yang luar biasa dari Raita Silalahi, Endro Wardio, Vicka khairunisa dan Edi Maliki yang menari sekaligus bernyanyi, berikan tepuk tangan yang meriah untuk anak-anak hebat tadi bapak dan ibu....."

Tepuk tangan kembali riuh ketika pembawa acara diatas panggung meminta penonton untuk memberikan apresiasi mereka dengan memberikan tepuk tangan sekali lagi untuk penampilan penari-penari cilik hebat yang baru saja menyelesaikan penampilannya.

"Terima kasih bapak dan ibu sekalian, mungkin salah satu penampilan setelah ini pasti juga akan memukau bapak dan ibu sekalian, saya dapat bocoran dari ibu wali kelasnya, anak ini sering diam-diam membuat puisi saat dia sedang termenung sendirian...dan hari ini dia akan membacakan salah satu puisi yang ia tulis sendiri dikelas...kita sambut anak manis ini...Al Biena Narendra...!"

Pie dan Lie saling menoleh dan berpandangan disela tepukan tangan yang menggema. Bie membuat puisi? Saat termenung? Kenapa mereka baru tahu kalau Bie pandai membuat puisi dan sering merenung dikelas?

Terlihat Bie melangkah menuju ketengah panggung menghampiri micropon yang berdiri disana. Menurunkan sedikit micropon itu karna lebih tinggi daripada tubuhnya lalu berdehem. Wajahnya terlihat sedikit gugup karna baru kali ini dia tampil didepan umum untuk menyuarakan puisinya.

"Assalamualaikum...Warrahmatulahi wabarakatuh......" suara Bie sedikit bergetar. Matanya mengedarkan pandangan keseluruh ruangan seperti mencari-cari seseorang.

"Bie tak tau ini Puisi atau bukan, tapi ini Bie bacakan buat abi dan umi yang Bie cintai dan semua orangtua yang ada disini....."

Pie menarik napasnya. Seketika dadanya berdebar. Sedangkan Lie menatap Bie tanpa kedip lalu meraih tangan Pie untuk digenggamnya dan Pie tak berniat menolak karna iapun butuh kekuatan sekarang.

Umi...
Setiap malam sebelum tidur umi dongengkan aku sebuah cerita
Cerita seorang putri yang hidup bahagia karna baik hatinya

Abi...
Setiap pagi setelah mandi abi mengantarku ke sekolah
Sekolah tempatku belajar menuntut ilmu sebaik-baiknya

Umi bilang aku bidadari
Abi bilang aku malaikat

Aku tidak bisa jadi bidadari tanpa umi
Aku tidak akan jadi malaikat tanpa abi
Tanpa umi aku tak bisa mendengar dongeng kebahagiaan putri
Tanpa abi aku tak bisa mendapatkan ilmu disekolah ini

Tuhan...
Aku mau dua-duanya berada didekatku
Karna tanpa dua-duanya terasa sepiku
Aku ingin...melihat mereka set-tiap har-ri
Karna tanpa mereka aku seperti mati

Aku mencintai umi dan abi

~disudut kelas yang sepi, Al Biena Narendra

Mungkin bagi orang lain yang melihat dan mendengar Bie membacakan puisi karangannya sendiri itu terdengar biasa meskipun sesaat terasa ada keharuan. Kalaupun ada yang bilang hebat karna mungkin dia adalah anak tujuh tahun yang sangat berani. Berani tampil, berani menyuarakan karyanya sendiri.
Tapi bagi Pie dan Lie puisinya memberikan kesan dan arti yang sangat dalam.

Airmata Pie menetes ketika suara Bie tersendat membaca bait terakhir puisinya. Terdengar penuh harapan dan seperti kehilangan harapan itu. Disebelahnya Lie menatap panggung tanpa kedip dan entah sadar atau tidak tangannya meraih tangan Pie sejak awal Bie membaca puisinya. Jantungnya berdebar antara ikut gugup bagaimana putrinya menyelesaikan penampilan dan juga gugup bagaimana isi dari puisi putri mereka tersebut.

Time ReleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang