"Saudara Anin, apakah ada usulan?" Kata MC di seberang sana.
Anin terbelalak. Ia tidak memperhatikan rapat Pembekalan OSIS kali ini. Pikirannya jauh disana. Dan semua mata tertuju padanya.
"Hm, saya rasa tidak." Anin mencoba setenang mungkin. Tapi bagaimanapun juga, rapat Pembekalan OSIS yang dihadiri kepala sekolah, Anin bisa-bisanya tidak memperhatikan.
Acara terus berlanjut. MC memberikan waktu untuk mereka-mereka yang ingin mengoceh tentang Pembekalan OSIS ini. Bagi Anin, acara ini hanya membuang-buang waktu.
Fisiknya rapat, namun pikirannya di rumah Zabin. Ketiga sahabatnya kini sedang berada di rumah Zabin. Meninggalkan Anin rapat sendiri. Memang, sahabat yang kejam.
Anin tidak tenang. Berkali-kali ia membenarkan posisi duduknya. Berkali-kali mengecek jam tangannya. Orang disamping Anin pun merasa terganggu.
"Lo kenapa deh, Nin?" Tanya cowok di sebelah Anin berbisik.
"Gue pengen pulang, Rav. Males banget diundang acara ginian. Ravi, bawa gue kabur plis." Anin balas berbisik, memohon pada Ravi. Dan Ravi hanya tersenyum.
"Kok senyum sih, Rav. Bawa gue kabur, plis." Pinta Anin lagi.
"Kalo gue bawa lo kabur, yang ada ntar gue dihajar sama yang disana noh." Ravi menunjuk seseorang di seberang dengan dagunya. Ia menunjuk Davin. Mantan kakak kelasnya.
"Apa hubungannya coba, ah elu!" Anin menjitak kepala Ravi. Ravi hanya meringis kesakitan.
Anin kembali tidak tenang. Kali ini dengan dua hal. Yang pertama rumah Zabin, dan yang kedua Davin. Kini Davin menatapnya dengan tajam. Membuat Anin lebih tidak bisa diam.
"Sepertinya kita cukupkan saja rapat kali ini. Saya selaku MC memohon maaf apabila ada salah kata. Mari kita tutup acara ini dengan doa. Berdoa dengan keyakinan masing-masing. Berdoa mulai." Semua berdoa, menuruti kata-kata MC.
"Selesai. Selamat sore." Mc bangkit. Diikuti semua peserta rapat. Memberi salam lalu keluar ruangan.
Semangat Anin kembali. Ia bergegas keluar ruangan rapat. Namun tangannya ditahan MC tadi.
"Nin, jangan pulang dulu."
Anin menengok ke belakang. Menghentikan langkah. "Apaan, Rif?" Anin membalikkan badannya menghadap lawan bicaranya. Rifdan.
"Lo tadi kenapa ga kasih petuah? Lo kan mantan kepala sie." Kata Rifdan.
"Eh? Emang gue tadi disuruh ngomong?" Anin berlagak bingung. Ingin sekali ia lari sekarang juga ke rumah Zabin.
"Lo tadi ga dengerin gue ngomong apa?" Rifdan protes. Memicingkan mata.
"Duh, Rif. Sorry banget nih ya. Gue mules. Bye!" Anin berlari meninggalkan Rifdan. Ia sudah tidak sabar untuk melepaskan penat bersama ketiga sahabatnya.
***
"Anin yang cantik pulang dengan tidak selamat!" Kata Anin lantang memasuki rumah Zabin.
"Darimana aja lo nyet? Jam segini baru pulang." Sambar Affan melempar kulit kacang.
Anin melempar tasnya ke sofa. Mengenai Azu yang sedang bermain game di ponselnya. Alhasil ia kalah.
"Apaan si lo ndut! Maen lempar aja! Nih kalah kan jadinya!" Azu protes.
Semua mata menatap Azu tak percaya. Seorang Azu yang kalem, tenang, dingin, dan hemat bicara bisa berbicara sepanjang itu kepada Anin. Ditambah dengan nada protesnya.
Anin mendekati Azu. Menempelkan punggung tangannya ke dahi Azu. "Azu deman gaes!" Teriak Anin.
"Apaan sih lo!" Azu menepis tangan Anin. Mengusirnya, lalu melanjutkan bermain game di ponselnya.
"Ulu, ulu. Azu malah ya? Maapin Anin ya kalo buat Azu malah." Anin memeluk gemas Azu dari samping.
Azu tidak memberontak.
"Nin, kesini naik apa lo?" Zabin datang dengan camilannya. Segera Anin melepas pelukannya lalu menyambar camilan Zabin.
"Asal kalian tau, gue tadi kesini dianter...." Anin menggantung ucapannya.
"Dianter siapa anying!" Umpat Affan tak sabar mendengar kata selanjutnya dari mulut Anin.
"Kak Davin." Ucap Anin tak bersemangat.
Semua yang mendengar itu diam. Tak bersuara. Tak menanggapi ucapan Anin barusan. Azu yang semula fokus bermain game, juga berhenti dari aktivitasnya. Semua menatap iba Anin.
***
"Kenapa lo mau dianter Davin?" Tanya Azu masih fokus menyetir.
"Ya gimana lagi, Zu. Lo tadi gue suruh jemput juga kaga mau." Anin mengerucutkan bibirnya.
"Kenapa lo ga bilang kalo ada Davin?" Tanya Azu lagi. Kini dengan nada dingin.
"Ya buat apa gue bilang. Lo aja nggak peduli." Anin mengedarkan pandangannya keluar kaca mobil. Menikmati rintik hujan di luar mobil.
"Siapa suruh lo nangis?" Tanya Azu dingin.
Anin segera menghapus air matanya. Bagaimanapun caranya, tetap saja Anin tidak bisa menyembunyikan tangisnya dari Azu. Azu selalu tau Anin. Entah Anin sedang bahagia, sedih, khawatir, marah, bahkan menangis.
"Gue ga nangis tuh." Bela Anin. Dengan suara seraknya semua orang juga tahu dia menangis.
Azu menghentikan mobilnya. Anin melihat keluar kaca mobil. Tidak ada kedai es krim ataupun kafe. Hanya semak belukar yang dapat ia lihat.
"Kok berhenti, Zu?" Anin menatap Azu yang kini sedang menatapnya tajam.
"Kenapa, Zu?" Anin memundurkan kepalanya karena Azu memajukan kepalanya.
"Zu," Anin sudah tidak bisa mundur lagi. Kepalanya sudah menempel di kaca mobil.
Azu terus memajukan kepalanya. Tidak peduli Anin yang sedang berdebar. Napas mereka beradu. Hembusan napas Azu yang hangat mengenai wajah Anin.
"Karinanindita, lo sahabat gue. Gue ga mau lo ngeluarin air mata cuma buat pengecut itu. Gue ga mau liat lo rapuh. Gue ga mau liat lo sedih. Jangan nangis lagi karena Davin. Orang kayak dia ga pantes lo tangisin. Janji sama gue nggak nangis lagi karena Davin." Azu mengacungkan jari kelingkingnya.
"Janji." Anin menautkan jari kelingkingnya ke kelingking Azu. Lalu melepasnya.
"Dan inget. Gue selalu peduli sama lo, Anin."
Setelah itu, mereka hanya saling diam. Tidak ada percakapan diantara mereka. Mereka berdua sibuk dalam pikirannya masing-masing.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Anin
Teen FictionCewek. Pecicilan. Hidup. Ya, tiga kata yang bisa mendeskripsikan seorang Karinanindita. Siswa SMA Nusantara yang menduduki bangku kelas XII. SMA favorit di kotanya. Tidak ada yang spesial di diri Karinanindita atau biasa disebut Anin. Tidak begitu c...