Aku mendengar tawa itu. Tawa itu lagi. Tawa yang aku rindukan. Tawa yang dahulu kala selalu menyambutku setiap pulang sekolah. Tawa yang telah mengisi hari-hariku, tapi lagi-lagi, itu dahulu.
Tawa itu disusul dengan suara khas miliknya. Ya, ini memang benar dia. Dia yang dulu pernah memberiku kebahagiaan yang tak pernah aku kira sebelumnya. Dia yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupku. Dia yang pernah menjadi tempat aku berbagi suka dan duka. Dia yang dulu selalu menyediakan bahunya untukku. Dia yang dulu selalu memastikan senyumku bertahan dari pagi hingga malam hari. Dia yang dulu menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang, tatapan favoritku. Dia yang dulu aku cintai, dan dia yang mencintaiku.
Dia. Iya, dia. Segalanya bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Third-Wheel
Teen FictionIni bukan kisah cinta tentang dua sejoli yang bertemu, mulai dekat, dan akhirnya jatuh cinta. Tidak, nyatanya takdir tidak seberuntung itu. Dan hidup kita, tidak seklise itu. Sungguh, bukan pertemuan pertama bertemu lah yang akan memberikan kesan. T...