6

273 12 5
                                    

"Tarisa, gue boleh ngomong sama Dita?" suara khas itu terdengar dari arah pintu.

Ah, debaran itu masih ada saja.

***

"Kenapa, Dim?" ucap Dita acuh tak acuh. Tidak, Dita tidak ingin meruntuhkan dindingnya lagi. Tolong, Tuhan. Dinding Dita sudah retak dan nyaris runtuh, tapi hal yang lebih menyakitkan? Ini semua tidak ada artinya di mata Dimas.

Bersamaan dengan selesainya balasan Dita, Tarisa beranjak pergi meninggalkan dua insan tersebut berdua, menikmati bagaimana otak mereka mempermainkan mereka dan tenggelam di dalam semrawutnya pikiran yang berlari hilir-mudik kesana-kemari.

"Woi," ujar Dita memecah keheningan di antara mereka. Dimas sedari tadi terdiam, dan Dita juga tidak berani bersuara. Toh, Dimas yang ingin berbicara dengannya bukan?

"Hm? Eh, iya-iya,"

Dahi Dita berkerut. Dita benar-benar tidak bisa membaca air muka Dimas.

"Apa kabar?" ucap Dimas tiada angin tiada hujan.

"Lo sakit?" jawab Dita dengan alis tertaut. Dita benar-benar bingung, raut wajah Dimas sungguh tidak bisa ia terka. Dimas hanya melontarkan kekehan kaku.

"Ngga, gue ngerasa lo beda aja gitu, Dit. Bukan Dita sahabat gue yang gue kenal,"

Dita hanya bisa menyunggingkan senyum terpaksa. Dita seharusnya sadar sedari awal bahwa dia akan selalu menjadi sahabat Dimas, namun tidak lebih. Bodohnya Dita, bahkan sempat terpikir bahwa mereka dapat melewati garis batas tersebut. Kenyataan memang lebih pahit daripada angan-angan.

"Biasa aja, ah. Lo aja kali yang terlalu gimana," ujar Dita, "gue fine kok, emang kenapa?"

"Gue gatau, Dit. Tapi sebagian perasaan gue menyatakan bahwa lo gasuka hubungan gue sama Raline," ucap Dimas lalu menarik bahu Dita agar bersitatap dengan Dimas. Ya, Dita akui dia menghindari tatapan maut dari Dimas tersebut. Memang tidak sopan, tapi Dita tidak peduli. Baginya yang penting hatinya tidak seporak poranda dahulu ketika ia masih berani berpura-pura semuanya baik-baik saja. Dita terkejut. Ia bungkam, tak tahu harus berkata apa. Sebagian hatinya mengiyakan pernyataan tersebut, namun sebagian hatinya yang lain mengatakan tidak, dimana bahkan Dita sendiri tahu itu sebuah kebohongan. Untungnya, logika Dita masih berjalan dengan baik dan logikanya mengatakan bahwa setuju dengan pernyataan tersebut sangatlah bodoh dan konyol. Memang apa yang akan terjadi jika Dita menyatakan bahwa ia tidak suka hubungan Dimas? Apa Dimas akan kembali ke pelukannya? Ah, tentu tidak. Lagi-lagi, itu semua kembali ke fakta bahwa Dita hanya sekadar sahabat bagi Dimas.

"Maksud lo? Dim, gini ya. Asal lo bahagia, gue juga bahagia! Gausah pikirin gue, jalanin hidup lo sesuka lo. Toh, ini hidup lo dan gue gapunya hak apa-apa buat ngatur lo," balas Dita sembari menyunggingkan senyum yang dibuat-buat. Dita merasa seperti dirinya telah termakan omongannya sendiri, bahkan Dita bingung bagaimana caranya kata-kata seperti itu dapat lolos dengan lancarnya dari mulut Dita?

Dimas tersenyum, nampak mengerti tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di batin Dita. Tak mengherankan, mereka sudah bersahabat semenjak lama. Tetapi kini, Dita sungguh tidak ingin Dimas dapat menerka luapan isi hatinya yang sebenarnya, karena bahkan Dita sendiri masih bingung bagaimana menjelaskannya.

"Napa lo senyam-senyum sendiri?"

"Heh, nenek onta, duduk dulu,"

Dita yang pada awalnya sedang berjalan menghadap papan tulis, kini berbalik badan dan menatap Dimas heran. Alisnya tertaut dan dahinya mengerut, salah satu ekspresi yang sebenarnya Dimas rindukan dari kawannya tersebut. Jauh di lubuk hati yang terdalam, Dimas tahu. Dimas tahu kandasnya hubungan mereka tidak akan menjadikan hubungan mereka seperti sediakala kembali. Dimas tahu, menyakiti Dita karena kesalahannya akan mengubah hubungan mereka 180 derajat. Kini, Dimas berusaha memperbaiki semuanya, berusaha mengobati luka di hati Dita perlahan-lahan. Berusaha membuat jembatan di atas jurang yang terbentuk seiring waktu. Namun yang tidak ia ketahui adalah, itu bukan pilihan yang tepat.

"Apa dah?"

"Dit, dengerin gue. Pendapat lo penting buat gue, secara lo itu penting di hidup gue, Dit. Mana bisa gue ngebiarin pendapat sahabat gue?" ujar Dimas sembari menatap intens kedua bola mata Dita. Dita tersenyum palsu. Lagi-lagi, dirinya hanyalah seorang sahabat bagi seorang Dimas Aydin Putra.

"Woi, Dit. Jawab dong, senyum doang lo,"

"Dimas, gini ya. Gue bener-bener gabisa ngasih komentar apapun tentang hubungan pribadi lo," ucap Dita sembari menatap Dimas tidak kalah intensnya, "itu semua pilihan lo, dan udah sepantasnya gue sebagai seorang teman menghormati pilihan lo,"

"Sahabat," koreksi Dimas dengan penuh penekanan.

"Iya, terserah."

Embusan berat napas Dita disusul oleh keheningan yang sangat tidak nyaman, bagi Dita, maupun Dimas. Dua insan tersebut tidak tahu harus mengatakan apa lagi, karena jauh di dalam hati mereka, mereka tahu isi hati satu sama lain. Dua-duanya tidak ingin berbicara, namun dua-duanya tidak ingin beranjak pergi pula. Seakan-akan, mereka sedang terbalut rasa nyaman mengenang terakhir kali mereka seperti ini, seakan-akan mereka terlalu dalam diselimuti kenyamanan dalam keheningan, dengan ditemani kehadiran satu sama lain.

Ah, mereka akan terdiam seperti ini bukan untuk waktu yang sebentar, sepertinya.

***

"Belom selesai juga? Gue udah ke toilet, terpaksa ngeladenin Si Jajang yang tiba-tiba ngajak ngobrol, terus gue ngepoin instagram mantan lagi!"

Sadar ucapannya tidak di sahut sama sekali, Tarisa akhirnya menatap Dita dan Dimas bergantian, berusaha memahami keadaan. Tidak ada yang mengeluarkan suara, membuat semuanya lebih membingungkan lagi untuk Tarisa.

"Dita jadi pulang sama gue?" tanya Tarisa pada akhirnya. Dita tidak menjawab, melainkan hanya menatap Tarisa dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, Tarisa mendapat jawaban dalam diamnya Dita. Selalu begitu.

"Yaudah. Dim, gue titip Dita ya, jangan dibawa pulang kemaleman, maafin gue ganggu urusan lo berdua," ujar Tarisa yang dibalas dengan anggukan dan senyuman Dimas. Kalau saja Tarisa tidak tahu seluk-beluk hubungan Dita dan Dimas, bisa jadi Tarisa sudah jatuh hati pada Dimas.

Bersamaan dengan kepergian Tarisa, Dimas menghembuskan napasnya dengan cukup keras, menyita perhatian Dita.

"Berarti lo pulang sama gue, ya?"

Dita mengangguk.

"Yaudah, lanjutin di mobil aja yuk,"

Dita pun mengangguk lagi, lalu beranjak pergi.

***

Dita termenung. Sedari tadi, ia hanya menatap keluar jendela sembari sesekali menyanyikan potongan lirik lagu yang diputar. Ini jenis lagu kesukaan Dita, sama sekali bukan jenis lagu kesukaan Dimas. Entah mengapa, Dita merasa bahwa Dimas sengaja memilih lagu-lagu kesukaannya untuk diputar, tapi entahlah. Mungkin Dimas sudah pindah haluan menyukai lagu Kahitna? Biasanya yang Dimas dengarkan itu semacam Nicki Minaj dan kawan-kawannya, entahlah.

"Gue tau, Dit. Lo gasuka hubungan gue sama Raline," ujar Dimas tiba-tiba, tiada angin tiada hujan, "dan lo tinggal bilang aja, gue maklumin, kok. Gue bisa liat semuanya dari sorot mata lo,"

Dita langsung menoleh dalam sekejap, bahkan sendi lehernya sampai berbunyi. Ia meringis, namun langsung menjawab pernyataan Dimas.

"Dim. Harus gue bilang berapa kali, kalo gue gapapa dengan hubungan lo sama dia? Harus sampe kapan gue ngomong kalo lo bahagia gue pun bahagia? Sampe berbusa?"

"Sampe akhirnya gue ngga ngeliat sorot terluka itu di mata lo tiap liat gue, Dit."

Hening.

"Sampe akhirnya gue tau, kalo lo udah merelakan gue."

***

HELLO EVERYONE!! ok i'm back i'm back. terimakasi untuk segala jenis support-nya, dan kesabaran menunggunya! maaf yaa kalo masih belom secepet yang kalian harapin, doain biar bisa lebih cepet lagi makanya HEHEHE. support terus yaa vomment-nya jangan lupa! tunggu part selanjutnya okai? okai. terimakasiiiiiiii see you!

Third-WheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang