5

223 13 2
                                    


"Pacarnya Dimas,"

Semua syok.

***

Dita bungkam. Terkejut? Tentu. Namun, dia bisa apa? Terkadang dunia itu menggelitik. Ingin rasanya Dita tersenyum sarkastik kepada dirinya yang sangat hancur hatinya namun tetap bisa kokoh berpijak di atas kakinya. Dita tahu, dia harus kuat. Dia harus rela. Dia harus bisa merelakan Dimas.

Dita tetap Dita. Senyum 'tulus' tetap ia sunggingkan,

"Hai," ucap Dita, "Dita,"

"Raline,"

Teman-teman Dita masih terlihat terkejut. Namun tak berapa lama, yang lainnya ikut memperkenalkan diri. Dita tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk mendongak ke atas, melihat ekspresi yang lainnya. Ia hanya menunduk menatap tanah. Usapan penenang dari Tarisa pun ia tolak dengan menggeleng halus, mengisyaratkan ia tidak apa-apa. Lucu. Bahkan kalian semua pun tau apa yang Dita rasakan, iya bukan?

Bel berdering. Mereka lalu berpamitan satu sama lain, dan berlari kecil ke kelas masing-masing. Di tengah perjalanan, Tabita berusaha mengejar langkah Dita yang cepat. Tabita tahu persis Dita yang seperti ini adalah Dita yang tengah gusar, dan ia tidak perlu ataupun merasa perlu untuk bertanya tentang itu.

"Raline. Gwyneth Raline. Primadona-nya X-IPS V, mantannya Bagas. Kok bisa yah mantannya temen jadi pacar gitu?" ucap Caluella bagaikan membaca profil tersangka kriminal.

"Ya namanya juga zaman sekarang. Tikung-tikungan aja udah lumrah, masa iya mantannya temen jadi pacar aneh, sih," ucap Anggun.

"Namanya bule gitu, blasteran dia?"

"Kagak lah, gaada cengkok-cengkok bule sama sekali! Itumah orang tuanya aja kali ngebet pengen punya anak bule," ucap Tabita asal ceplos.

Mula-mula, Dita merasa risih. Namun ia akhirnya sadar bahwa cara untuk menjadi tidak apa-apa adalah membuat segalanya seperti tidak apa-apa. She knows it's okay not to be okay, though.

"Gila, jahat anjir," ucap Dita.

"Oh ga melow-melow nih si teteh? Biasanya melankolis," sindir Renata. Dita hanya balas mencibir.

***

"Kantin ga?" ajak Tarisa sembari memasukkan pulpen ke tempat pensilnya.

"Dita iya!"

"Kita berempat ngga ah, belom ngerjain PR nih gue," ucap Tabita.

"Pinjem PR yah Tar," ucap Caluella. Tarisa mengangguk lalu melangkah keluar disusul Dita dan Renata.

Dita, Tarisa dan Renata saling melempar canda tawa. Belakangan ini Dita sepertinya terlalu melankolis, hingga ia merasa jika tawa lepas seperti sekarang ini telah lama ia lewatkan. Oh Tuhan, mengapa Dita sibuk sendiri dengan pikirannya dan kesedihannya beberapa hari ke belakang? Bodoh.

"Toilet dulu yuk,"

"Si Tarisa ih, ke toilet aja ngajak-ngajak, lo mau gue apain? Mau gue awasin gitu pas pipis biar ga kemana-mana?" ujar Renata dengan muka jijik.

"Ya kagak lah, kalian mah di luar aja, siapa tau mau ngaca gitu, kan? Kalian tuh bego apa bodo sih," jawab Tarisa disusul oleh kerlingan matanya.

"Dih, itu mah Renata aja, gue sih ga komen apa-apa ya sori," ucap Dita dengan intonasi yang dilebih-lebihkan. Mereka hanya tertawa lalu memasuki toilet. Dita sempat tertegun melihat siapa yang juga sedang berada di sana.

Gwyneth Raline.

"Hai, Dita, Renata," sapa Raline sembari menatap Dita lewat cermin yang berada di hadapannya.

"Hai Raline, ketemu di sini ternyata," jawab Renata canggung.

"Eh, hai," jawab Dita tak kalah canggungnya. Bersamaan dengan itu, pintu bilik toilet yang ditempati Tarisa tadi terbuka.

"Eh, Raline? Mau gabung ke kantinnya?" ucap Tarisa sembari melirik jahil kepada Dita. Tangan Dita sudah mengepal, giginya pun sudah menggertak. Matanya membulat dan melebar, dan Tarisa hanya merespon dengan cengirannya. Tarisa tahu dia akan habis diomeli oleh Dita, jadi untuk apa tidak mengoptimalkan menjahili Dita? Toh mau besar atau kecil hal yang Tarisa perbuat, omelannya akan sama mengesalkannya, kok.

Pada akhirnya, Dita hanya bisa menelan semuanya bulat-bulat dan menerimanya dengan senyuman. Dita sempat melemparkan beberapa pertanyaan basa-basi namun tidak ada gunanya pula, buktinya percakapan mereka begitu-begitu saja.

Ketika sampai di kantin, mereka segera memilih tempat duduk. Dita sengaja memilih tempat yang masih memiliki banyak tempat duduk yang kosong, karena Dita memiliki firasat bahwa Dimas dan kawan-kawannya akan bergabung, yang berarti Dita harus mempersiapkan hatinya untuk benar-benar mati rasa, dikubur di lapisan tanah yang paling dalam, atau bahkan dibuang ke bagian laut yang paling jauh. Sungguh, rasa hatinya ketika tercabik-cabik seburuk itu.

Benar saja, ketika Dita kembali setelah memesan makanan, meja tersebut sudah penuh. Kevin, Bagas, Andri, Tio terlihat sedang bersenda gurau sembari menyoraki satu sama lain. Mengapa? Tidak ada yang tahu.

Sedangkan Dimas? Rangkulan dan senyuman hangatnya bagai menghipnotis Raline hingga dunia serasa milik berdua. Ah, sudahlah. Siapa Dita bagi Dimas? Punya hak apa Dita hingga mengurusi hubungan orang lain?

Ah, tidak. Itu semua hanya kedok belaka. Jika saja sebagian logikanya tidak berjalan, ingin sekali ia melempar nampan yang ia bawa lalu berlari tak tentu arah, hingga akhirnya ia dapat menangis sekencang-kencangnya, sekuat yang hatinya pinta. Hatinya lelah, diterbangkan lalu dijatuhkan kembali. Diberi harapan lalu direnggut kembali. Disentuh lalu ditinggalkan lagi. Pundak yang biasanya ia pakai untuk bersandar, kini telah hilang mengikuti bayang-bayang orang selain dirinya. Hati yang selalu teguh melindungi hati Dita yang begitu rapuh kini sudah menemukan jalannya untuk melindungi hati rapuh lainnya.

Sungguh, cukup. Hati Dita tidak kuat.

***

"Lo kenapa tadi asal nyelonong aja abis naro nampan makanan?"

Dita hanya menatap Tarisa datar, lalu melanjutkan membereskan mejanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Dita setelah jam istirahat tadi. Dita benar-benar tidak mood untuk tersenyum atau berbicara. Sekali pun.

"Dit, gini ya. Lo dengerin gue. Jujur aja nih gue sama lo. Dit, Dimas brengsek. Jangan bilang ke gue sebaliknya. Gue gamau lo ngebohongin akal sehat lo sendiri demi ngedukung perasaan lo, Dit. Tolong lah, lo smart kan? Masa iya Dita dibodohin sama cowo? Woi, gue udah kenal lo dari lo masih bocah ingusan, masa sekarang udah cantik gini malah galau-galau? You know your worth. Dan Dimas itu gapantes buat lo, Dit." Tarisa menggelengkan kepalanya melihat reaksi Dita.

"Heh. Dita Millenia Ayu, liat gue! Gue tau lo ngedengerin dari tadi tapi sok sibuk gitu kan? Lo gamau nerima bahwa kenyataan sepahit itu kan?"

Dita menoleh. Dia sepenuhnya sadar apa yang dikatakan sahabatnya benar, sangat amat benar. Dia hanya tidak ingin terlalu memikirkannya sekarang, pikirannya sudah lelah berlarian kesana kemari, dan dia belum siap mencerna semuanya sekarang. Dia belum siap jikalau air matanya mulai menetes, dia belum siap menggali-gali luka terpendam di hatinya. Tidak sekarang.

"Bahasnya gausah sekarang, Tar. Gasiap gue," jawab Dita lemas lalu kembali memainkan ponselnya.

"Terus mau kapan, Dita sayang? Gabakal ada yang berubah kalo lo sendiri aja gamau mulai." Tarisa melanjutkan, "Dit, lo itu sahabat yang tau suka duka gue, dan gue gasuka liat lo disaki-"

"Tarisa, gue boleh ngomong sama Dita?" suara khas itu terdengar dari arah pintu.

Ah, debaran itu masih ada saja.

***

HAI LAGI SEMUANYAAAA! aduh ya ampun serius maaf banget baru update lagi, serius deh maaf bgtbgtbgtbgt! makasih buat kalian yang udah setia nungguin, kalo bisa bakal diusahain kok buat update cepet-cepet, kalian ingetin ya biar semangat wkwkwk. makasih loh buat yang baca, semoga enjoy! jangan lupa vomment as always, see you!

Third-WheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang