Dita terpaku di tempatnya. Makanan yang tadi ia pesan pun tidak ia sentuh sama sekali. Dita yang biasanya paling heboh, kini hilang entah kemana. Dita mengabaikan sahabat-sahabatnya yang tengah sibuk bercanda dan tertawa. Sungguh, Dita ingin ikut tertawa seperti biasanya, tapi dia tidak bisa. Bukan karena dirinya, melainkan karena pemandangan di depannya.
Dimas. Bukan, Dita bukan sedang memperhatikan Dimas-yang oh Tuhan sangatlah tampan-,tetapi gadis di sebelah Dimas yang tengah berada di dalam rangkulan Dimas, persis seperti posisi Dita dahulu. Pemandangan itu menyayat hati Dita, dan membuat Dita merutuki hatinya sendiri.
"Napa lo, Dit? Abang Dimas udah punya pengganti teteh Dita ya?" ucap Tarisa sembari mengedipkan matanya. Menjijikan.
"Bego lo, Tar! Tuh liat teteh Dita-nya udah berkaca-kaca gitu, ululu tayang-tayang jangan nangis," ucap Tabita, sama menjijikannya.
Jujur, Dita ingin, sangat ingin untuk tertawa, paling tidak terkekeh karena mereka. Tapi hanya sebuah senyum yang bisa ia sunggingkan. Dita ingin ia seperti biasanya, tertawa dan bercanda, tapi Dita bukanlah pemain lakon yang baik.
Hati Dita panas melihat Dimas bersama yang lain. Tetapi siapa yang berhak ia salahkan? Dimas sudah bukan miliknya lagi. Dita tidak punya hak untuk melarangnya, dan memang tidak pantas untuk melakukannya. Yang bisa ia salahkan hanya dirinya dan hatinya sendiri. Salah Dita telah luluh atas perilaku Dimas, lagi. Salah Dita pula telah menaruh harapan yang terlalu tinggi, padahal siapa Dita? Dimas pun tidak akan menilai Dita istimewa lagi, Dimas sudah dikelilingi gadis yang jauh lebih luar biasa dibandingkan Dita. Dan lagi-lagi, salah Dita juga, yang telah membuka luka lama, padahal bisa saja Dita tidak meruntuhkan dinding tinggi di sekitarnya.
***
"Lo yakin lo gapapa, Dit? Gak usah bohong, lah. Keliatan dari mata lo juga,"
Dita menoleh. Anggun-teman sebangkunya-sedang menatapnya dalam. Diantara semua sahabatnya, Anggun lah yang paling dewasa, tidak heran jika percakapan serius lah yang selalu terjadi diantara Dita dan Anggun.
"Gapapa kok, lagian gue siapanya dia juga? Kan cuma temen," ucap Dita lalu menyunggingkan senyum tipis. Dita sebenarnya sedang menertawakan dirinya sendiri, betapa bisa dia menjadi sebuah pembohong di depan orang-orang, terlebih lagi, sandiwaranya sungguh buruk.
"Temen tapi punya sejuta kenangan masa lalu," gumam Anggun dan disusul dengan kerlingan matanya. Dita tidak menghiraukan gumaman Anggun dan kembali fokus ke pelajaran yang tengah diterangkan. Tubuh Dita memang berada di bangkunya, tapi pikirannya sedang berada di antah berantah. Kejadian berturut-turut di hari ini sungguh membingungkan, dan Dita belum memiliki jawaban dari pertanyaan apapun yang tengah menari-nari di pikirannya.
"Tanyain Dimas aja, Dit. Kalo lo udah berasumsi duluan ntar nyesel,"
Lagi-lagi, Dita tidak menghiraukan Anggun. Dita tahu, Dita bisa leluasa bertanya kepada Dimas. Dimas tetap teman dekatnya, walaupun Dimas pernah menjadi alasan Dita menangis tiap malam. Dita memang terlihat tidak peduli atas saran Anggun, tapi sebenarnya perkataan Anggun tadi telah masuk ke dalam otaknya dan telah bergabung menjadi beban pikirannya.
***
Bel pulang sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya yang langsung berhambur keluar kelas ketika bel pulang, Dita tidak berpindah sedikit pun dari posisinya. Dita ingin pulang dan beristirahat, tapi rasanya untuk keluar dari kelasnya saja Dita sudah tidak punya tenaga. Tenaganya terkuras dengan memikirkan hal yang belum tentu memikirkan dirinya, Dimas. Ditambah lagi, Anggun terus menerus berkata,
"Jangan mikirin apa yang gak mikirin lo, Dit. Lo udah ngasih dia tenaga lo, tapi dia ngasih lo apa?"
Dita masih duduk di kursinya dengan satu tangan menopang dagu, dan tangan yang lainnya memainkan hp-nya. Group Line miliknya dan sahabat-sahabatnya ramai sekali, notif dari group itu bisa mencapai puluhan bahkan ratusan dalam sehari dan isinya benar-benar tidak penting, tapi sukses mengundang gelak tawa siapa pun yang membacanya, seperti:
Tarisa Amelia: selamat datang kacamata hitam perangkap tenang
Tarisa Amelia: translate ke basa Cina deh, berasa dewa ntar kalian
Calluella: rasis lo, nyet
Tabita: sent a photo.
Tabita: NGAKAK GUE HAHAHAHA
Renata: receh lu semua
Anggun: halah gapenting bgt kalian knp si
Oci: astagaDan masih banyak percakapan-percakapan tidak penting lainnya. Untuk kalian yang penasaran apa yang lucu, bisa silahkan di-translate sendiri.
Dita tersenyum. Makhluk-makhluk idiot ini lah yang telah menemani hidupnya beberapa tahun terakhir, dan mereka tidak pernah gagal untuk mengembalikan senyuman di wajah satu sama lain. Mereka telah melewati semuanya bersama, suka maupun duka. Saling menyemangati, tanpa melihat masalah mereka sendiri. Untuk tiap-tiap mereka, yang penting sahabat mereka tidak tersakiti, walaupun itu berarti diri mereka sendiri yang harus tersakiti.
"Cie belum pulang,"
Bisikan itu berhasil menegangkan tubuh Dita selama beberapa detik. Bisa Dita rasakan embusan nafas pemilik suara itu. Jantung Dita berdegup kencang, nafasnya tidak teratur, dan Dita malu. Dita sungguh malu.
"Gila lo! Setan kali ya tiba-tiba dateng gini," omel Dita disusul dengan pukulan-pukulan ringan ke badan Dimas. Omelan Dita tidak dihiraukan sama sekali, malah Dimas tertawa melihat Dita yang memukulinya berkali-kali walaupun tidak terasa sakit sedikit pun.
"Ya maaf, yang mulia. Lagian, ngapain nyendiri di kelas kayak gini coba? Jomblo ngenes banget ya lo,"
Iya, gue jomblo, gak kayak lo, Dim.
Batin Dita sempat tersakiti, walaupun itu hanya beberapa detik. Dita tidak mau Dimas melihat kerapuhannya, Dita tidak mau Dimas tau bahwa Dita telah membuka hatinya lagi untuk lelaki yang sejujurnya tak pernah berhenti ia cintai.
"Yeh, gue jomblo gini juga gue jomblo selektif, bukan jomblo gak laku," protes Dita.
"Bodo amat! Ngapain sih lo di kelas, Dit? Ada tugas?"
"Ngga,"
"Nunggu temen?"
"Ngga,"
"Nunggu yang jemput?"
"Gaada yang jemput,"
"Yaudah, pulang bareng gue aja, yuk?"
Deg.
KAMU SEDANG MEMBACA
Third-Wheel
Teen FictionIni bukan kisah cinta tentang dua sejoli yang bertemu, mulai dekat, dan akhirnya jatuh cinta. Tidak, nyatanya takdir tidak seberuntung itu. Dan hidup kita, tidak seklise itu. Sungguh, bukan pertemuan pertama bertemu lah yang akan memberikan kesan. T...