Awal Mula (1)

703 42 16
                                    

"Dimas?"

Gadis itu memandang lelaki yang tengah tertawa bersama teman-temannya dengan mata berbinar. Namun, memang tidak bisa dipungkiri, ada sirat kecewa, sakit hati, dan meminta penjelasan terlihat jelas di tatapan yang juga menyorotkan kasih sayang tersebut. Lelaki itu membalas tatapannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, sama halnya seperti ketika mereka pertama kali berjumpa.  Senyum lebar terlukis di wajah rupawannya hingga memperlihatkan deretan gigi rapih miliknya.

"Dita?"

Dalam hitungan sepersekian detik, Dimas sudah memeluk Dita yang masih membeku di tempatnya. Tak pernah sedetik pun Dita pernah mengira apa yang telah bertahun-tahun menjadi khayalannya akan terwujud. Sudah bertahun-tahun lamanya Dita berusaha melupakan Dimas, walau jauh di dalam hatinya, Dita sangat merindukan Dimas. Dita selalu kira, kembali di dalam dekapan seorang Dimas hanyalah angan-angan semata. Tapi kini, itu terjadi. Dimas memeluknya erat, bagaikan tidak ingin kehilangan dirinya lagi. Sungguh, diri Dita kini terbang di langit-langit, menyapa awan yang sering ia sapa dahulu kala ketika Dimas masih menjadi miliknya.

"Bengong-nya gak perlu sampe segitunya kali, Dit. Gue tau gue ganteng kok," ucap Dimas sambil menaik-turunkan alisnya. Tidak pernah berubah, sama seperti dulu.

"Gak berubah ya lo, Dim. Pede-nya masih tingkat dewa Yunani," cibir Dita. Dimas hanya terkekeh mendengarnya.

Baru saja Dita akan membuka mulutnya, bel sudah berbunyi. Dengan terpaksa, dia menahan kembali hal-hal yang ingin ia tanyakan. Ini terlalu membingungkan, walaupun jujur Dita bahagia karena semua kejadian ini.

"Yaudah, sampai ketemu pas istirahat ya, Dit. Gue X-IPS III, Lo?"

"X-IPA I, see you,"

"See you," ucap Dimas diikuti dengan senyuman maut miliknya. Dita membalasnya dengan lambaian tangan, dan senyuman manisnya pula.

***

"Gila, demi sempak kuda liar, itu tadi si Madam Loren ngomong apa coba? Pala gue pusing sumpah!"

"Pusing pala lu peyang, kerjaan lo aja bangun-tidur-bangun-tidur, heran gue lo bisa masuk IPA-I,"
Dita hanya terkekeh melihat tingkah laku sahabat-sahabatnya tersebut. Dita yang biasanya akan ikut mengomentari, kini hanya diam. Pikiran Dita masih berkecamuk, penuh dengan Dimas, dan kejadian tadi pagi. Dita bahkan masih belum yakin bahwa itu nyata, bukan sekadar tidak percaya, tapi memang semenjak Dita menginjakkan kakinya di sekolah ini pun Dita memang belum pernah melihat Dimas yang cukup tidak memungkinkan jika Dimas memang bersekolah di sana semenjak awal tahun ajaran. Dita yang mudah bergaul dan dikenal semua orang dengan keramahannya, dan Dimas yang memang sudah dianugerahi kepopuleran didukung oleh paras tampannya tidak mungkin tidak mengetahui keberadaan satu sama lain.

"Tumben bengong, ada masalah, Dit?" ucap Tarisa-salah satu sahabatnya-sembari menepuk punggung Dita. Oh itu bukan menepuk, lebih tepatnya memukul. Dita meringis, sahabatnya yang satu ini memang bengis. Ini bukan kejadian pertama atau kedua kalinya, melainkan kejadian yang entah ke-berapa-ratus Tarisa melakukannya. Dita baru saja akan mengeluarkan kata-kata protes dari mulutnya, ketika-

"Dimas ya?" goda Tabita, sahabat Dita yang lain. Dua kata singkat tersebut berhasil membungkam Dita, membuat jantungnya berdebar-debar dan seketika melupakan sakit di punggungnya. Tebakan Tabita tepat sasaran, namun Dita masih belum siap mengakuinya. Dita belum siap mengulik kembali masa lalunya lebih jauh, Dita belum siap menerima semua konsekuensinya. Memang sahabat-sahabatnya sudah mengetahui siapa itu Dimas, tetapi mereka belum tahu seluruh cerita dibalik kebahagiaan Dita bersama Dimas. Ketika menceritakan Dimas kepada mereka dahulu, Dita tersenyum, tertawa, dan menceritakannya penuh semangat. Padahal dibalik itu semua, ada kenyataan pahit yang telah ia sembunyikan, membuka kembali luka yang telah dia obati bertahun-tahun. Dita tidak pernah menyalahkan sahabat-sahabatnya, ia menyalahkan Dimas, yang telah menorehkan luka tersebut di hatinya. Namun begitu, Dita tidak pernah bisa menyalahkan Dimas sepenuhnya, Dita tidak pernah bisa membenci Dimas. Karena bagaimana pun, Dimas pernah membuatnya bahagia.

Third-WheelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang