Keadaan seakan membeku ratusan tahun, nyatanya waktu baru berjalan lima menit semenjak permohonan Kuroko yang tidak dimengerti oleh Akashi dikumandangkan.
"Hah ?"
Rahangnya terasa ingin lepas, tapi otaknya untuk kali ini benar - benar tidak mau diajak bekerja sama. Loadingnya luar biasa lama, barangkali kuota otaknya mau habis lantaran kebanyakan dibuat begadang untuk menutup gundah gulana.
Tapi satu hal pasti yang diketahui Akashi.
Kuroko Tetsuya-nya yang unyoeh sekarang mengibar tanda minta dikarungin.
.
.
.
Chapter 7 is ready!
Happy Reading !
.
.
.
.
Akashi ingin menutup mulutnya, serius. Melongo selama penantian satu chapter selanjutnya tidak bisa dikatakan sebentar (ditambah lagi authornya super kampret), walau di cerita dibuat hanya berjangka waktu beberapa menit, pegal rahangnya itu setara kuda – kuda delapan jam nonstop persis avatar yang belajar elemen api.
Pikirannya kini melalang buana, bernostalgia tapi bukan untuk mengenang. Memori yang lalu seperti digali secara paksa, mencoba menyambung – nyambungkan setiap kejadian untuk memahami titik yang dipermasalahkan oleh Tetsuya-nya.
Tetsuya begadang membuat novel, Tetsuya menerima ajakannya untuk tinggal bersama, laptop Tetsuya yang rusak karena terkena kopi, Tetsuya yang makan nasi goreng buatannya, Tetsuya yang bersemu karena gombalannya, Tetsuya yang tersenyum malu – malu ketika ia mencumbunya, Tetsuya yang berada di atasnya─
─tolong, tolong jangan kebablasan.
Tapi nihil, sejauh kodok jomblo di kolam pekarangan memandang, Akashi tidak pernah ingat atau tahu mengenai apa yang dimaksud Kuroko.
"Maksudmu apa, Tetsuya ?" Genggaman tangan dibalas, rasanya rindu juga dengan tangan selembut sutra ini. "Aku benar – benar tidak mengerti."
Niatnya sih modus elus – elus, logika Akashi tuh, tidak akan ada rasa kepuasan apabila belum menyentuh Kuroko minimal satu jam. Baik menyentuh secara 'normal' atau lebih dari kata 'normal'.
Itu khusus Akashi, hanya Akashi yang boleh menggunakan aturan mainnya sendiri dan tidak diperbolehkan siapa pun membuat plagiatnya. Kuroko Tetsuya itu sudah ada yang memiliki, tidak boleh dipublish, apalagi dibagi – bagi. Bukannya Akashi mau monopoli, tapi kan sudah seharusnya menjaga apa yang sudah dimiliki.
Lagipula hak kepemilikan kok mau – maunya diduplikat, dipikir kunci gembok berkarat yang sering raib di kantong celana.
"Kenapa ..." Kuroko menundukkan kepala, matanya menyirat penuh luka. "Kenapa Sei-kun menjauhiku ? Apa Sei-kun membenciku ?"
Mustahil nak.
Total tiga pertanyaan, walau sebenarnya ada jutaan pertanyaan tak terjawab yang menghantam kepala, Kuroko rasa – rasanya tak kuasa melayangkan semuanya─dipikir sesi tanya jawab ?
"Aku ..." Kuroko masih merasa perlu bicara, "Aku tidak tahu apa salahku... Tapi kumohon, jangan berpaling .. A-a-aku ...."
Pemuda mungil itu tidak tahu harus berkata apa, dirinya panik. Semua yang ia katakan merupakan improvisasi, mendadak, tidak direncanakan. Tahu – tahu hatinya sudah melayangkan berbagai macam kalimat yang belum disetujui benar oleh si otak, tapi dapat menyelundup mulus di bibirnya. Tepat ketika suatu kalimat terlintas di benaknya, wajahnya otomatis menunduk. Kepul asap dengan warna merah menghiasi wajah sang novelis. Mulutnya mulai bercicit, malunya sedang di tahap maximum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me Inspiration!
أدب الهواةMenjadi novelis cukup membuat seseorang berwajah datar hampir 'permanent' itu merasakan pusing kepala. Kuroko Tetsuya tak habis pikir bagaimana bisa kehabisan ide ditengah deadline yang bergentayangan, sedangkan Akashi Seijuuro hanya tersenyum maklu...