1

145K 3.1K 156
                                    

Awal pertama aku mengenalnya, aku berpendapat bahwa dia adalah lelaki yang baik, penyayang, penuh pengertian dan bertanggung jawab.

Perlahan namun pasti, diam-diam aku mulai mengagumi sosoknya. Aku menjadikannya sebagai idola yang kerap aku tiru sifat dan tingkahnya.

Dia yang aku maksud adalah Pamanku sendiri, Rendra Gunawan. Om Rendra, begitu biasa aku memanggilnya-menikah dengan Tanteku-Nila Yunita-yang merupakan adik perempuan Ibuku. Dari pernikahan itu, mereka memiliki 2 anak lelaki dan mereka kembar. Namanya Ega dan Oga dengan nama akhiran Gunawan.

Sejak usia 8 tahun, aku memang sudah tinggal dengan keluarga ini. Ayahku sudah lama meninggal dunia, membuat statusku adalah 'anak yatim'. Sepeninggal Ayah, Ibu pergi ke Arab menjadi TKW dan sampai sekarang belum kembali lagi ke Indonesia, lebih parahnya aku tak memiliki kontak apapun dengan ibuku. Hidupku menjadi sebatang kara, sedari kecil aku sudah mencicipi asam-pahitnya kehidupan ini, orang-orang sering mengasihaniku meski aku tak meminta belas kasihan mereka. Aku pernah menjadi pengemis, pengamen, geladangan, pemulung bahkan tukang jambret. Itu semua aku lakukan untuk mengisi perutku yang kosong. Aku kerap kelaparan dan puasa jika berbuka dengan seteguk air. Sulitnya hidup yang aku jalani, membuatku sempat berfikir untuk mengakhiri hidup. Tapi Tuhan berkehendak lain, disaat aku mencoba melompat dari jembatan, seseorang menyelamatkan ku dan rencanaku semuanya gagal.

Penyelamatku itu tak lain adalah Om Rendra sendiri, sampai akhirnya om Rendra mengajak ku kerumahnya, dan disanalah aku baru tau ternyata istri om Rendra adalah Tanteku, selama ini aku masih mempunyai sanak saudara tapi Ibu tak pernah cerita sedikitpun tentang keluarganya hingga aku berasumsi bahwa aku sebatang kara.

Tante Nila langsung mengenaliku, saat beliau melihat kalung yang melingkar di leherku, kalung itu adalah pemberian ibuku terakhir kali sebelum Ibuku pergi keluar negri.

"Kamu Dimas? Anaknya mbak yu Ika?" Suara Tante Nila sambil mendekap tubuhku erat.

Tante Nila sudah menceritakan semuanya padaku, selama ini dia dan suaminya berusaha mencari keberadaan keluargaku tapi tak pernah ketemu, karna sekali dia mendapat alamat tempat tinggal kami, kami sudah pindah rumah. Tante Nila juga cerita kalau Ibu dan Ayahku, menikah tanpa persetujuan keluarga, jadilah mereka merantau dan tak pernah lagi menghubungi keluarga.

Pantas saja, setiap kali aku bertanya tentang kakek ataupun keluarga lain. Ibu tak pernah menjawab.

"Mulai saat ini kamu tinggal bersama kami, jangan sungkan. Om dan Tante sudah menganggapmu sebagai anak kami sendiri." Ucap Om Rendra kala itu, aku menatap sosoknya lama dengan penuh haru. Kalau dia tak menyelamatkan ku dan membawaku kerumahnya, aku tidak tahu lagi bagaimana nasibku selanjutnya.

Mulai dari situlah, aku semakin mengagumi sosok Om Rendra. Lambat laun, rasa kagum itu kian membuncah dan bermetamorfosis menjadi rasa Cinta.

Aku mencintai Om Rendra.

Dari awal aku memang sadar, bahwa aku adalah gay. Itu bukan masalah, Cinta boleh datang pada hati siapa saja dan dengan siapa saja. Meski pada awalnya aku nampak frustasi dengan perasaan cinta ini, namun aku berhasil mengatasinya sejauh ini.

"Mas Dimas, dipanggil Mama." Beritaku Ega saat aku sedang menyapu halaman sambil memikirkan semua ini.

"Ah iya." Ucapku tersadar dari lamunan.

Aku bergegas masuk kerumah, menemui Tante ku yang pastinya sedang sibuk di dapur.

"Iya tante. Tante manggil Dimas?" Tanyaku memastikan, karna terkadang si kembar itu suka menjahiliku, menurut mereka aku begitu penurut hingga mudah di tipu. Aku tak peduli, anggap apa yang aku lakukan sebagai ungkapan terima kasih. Oh iya, usiaku sekarang baru 17 tahun, sedangkan si kembar Ega-Oga menginjak usia 14 tahun.

"Dimas, tolong kamu anterin Makan siang Om Rendra ya."

"Iya Tante." Aku menyanggupi. Aku biasa dimintai pekerjaan mengantar bekal siangnya Om Rendra ke kantornya, aku sudah hafal betul jalan menuju kantornya om Rendra kok. Aku tak pernah menolak, sebab aku sendiri senang dengan pekerjaan seperti ini.

Aku mengayuh sepedaku kencang, tak mau sampai Om Rendra kelaparan karna terlalu lama menungguku. Om Rendra bisa saja makan di luar kantor bersama teman-temannya, tapi beliau tidak pernah sekalipun melakukan itu, dia akan tetap menunggu kedatanganku, dan melahap nasi yang aku bawa.

Setelah sampai, aku memarkirkan sepedaku di parkiran kantor yang sudah dipenuhi mobil ataupun motor.

"Nganter bekal, Mas?" Tanya Pak Satpam yang sudah hafal kebiasaanku datang ke kantor.

"Iya, pak." Jawabku sopan.

"Aduh, udah kaya istrinya aja." Lelucon-pak Danang-Satpam membuatku tersenyum.

"Mari pak Danang, duluan." Izinku berjalan kearah kantor. Pak Danang mengangguk dan kembali bertugas.

"Om." Panggilku setelah sampai di ruangannya.

"Oh Dimas sudah sampai." Ucap Om Rendra mengalihkan fokusnya dari kertas yang dia pegang ke arah pintu tempatku berdiri.

Aku berjalan perlahan, kini sibuk menyiapkan perlengkapan makan. Om Rendra sudah menyelesaikan tugas-tugasnya, kini beliau fokus memperhatikan gerak-gerikku.

"Silahkan om." Ucapku, setelahnya duduk menghadap Om Rendra. Jarak kami hanya di sekat sebuah meja kerja.

"Kamu sudah makan?" Tanya Om Rendra.

"Nanti Dimas makan dirumah aja." Ucapku, kulihat Om Rendra sibuk memisahkan beberapa makanan yang dibawa, dan menghadapkannya ke arahku.

"Kalo gitu, kita makan sama-sama. Kaya biasa." Ucapnya.

"Gak usah om." Tolakku halus.

"Eits, gak ada penolakan." Ucapnya memaksaku tersenyum.

Sikapnya yang seperti inilah yang membuatku semakin jatuh dalam pesonanya.

Akhirnya kita berdua makan bersama, ini bukan pertama kalinya sebab kita terlalu sering makan bersama. Moment seperti inilah yang selalu aku tunggu, duduk berhadapan dengan Om Rendra saja sudah membuat hatiku berbunga-bunga.

Bersambung~~~~

Dimas(ManXBoy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang