Hujan

52 4 0
                                    

Elang mengambil beberapa pigura dari dinding. Meletakkan sebagian di lantai setelah beberapa kali membandingkan satu gambar dengan gambar lainnya. Di belakangnya, teman seperjuangannya, Putra, bersandar elok sambil beberapa kali melihat jam tangannya. Kentara sekali ia sudah tidak sabar dengan Elang yang masih belum selesai memilih foto yang akan dipajang di pamerannya nanti.

"Masih lama, Lang?"

Elang berbalik. Dua tangan memegang masing-masing foto bunga liar, dan satunya foto laut di kala senja. Ia menelengkan kepala bak orang tak berdosa sembari bertanya pada Putra, "Bagus mana, Put?"

Putra jengkel setengah mati. Ia rasanya ingin memaki namun sadar betul kalau itu tidak akan mengubah apa-apa. "Dua-duanya bagus," sebutnya. Ia begitu heran kenapa Elang bersikeras mengatur ruang pamerannya sendiri. Mendesain satu sisi dan sisi lainnya. Kan, ada koordinatornya sendiri, Putra menghela napas pendek.

Sebagai seorang seniman, Elang jelas dinilai berlebihan oleh Putra. Ia sampai merelakan waktunya untuk terjun langsung menata gambar-gambar, potret-potret, yang akan dia pasang di pamerannya nanti. Sudah berkali-kali Putra harus rela menemani Elang memilih gambar dan foto, dan sudah berkali-kali pula ia mengingatkan kalau akan ada koordinatornya sendiri untuk penataan ruang.

Beberapa detik berlalu dengan keheningan. Elang menatap dua hasil jepretannya itu dalam diam. Dalam batin, terjadi perdebatan. Akhirnya ia meletakkan gambar senja kembali di dinding. "Yap. Sempurna."

"Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Putra, tepat ketika Elang kembali mengangkat dua lukisan berbeda ke depan wajahnya. Masih meminta saran untuk pajangan berikutnya.

Dan kesabaran Putra habis di sana.

--


Waktu menunjukkan tengah hari. Elang duduk di dalam mobil sedannya, mendengarkan radio yang kerap ia gonta-ganti saluranya tiap hijau berubah merah dalam lalu lintas. Kaki kanannya menginjak rem, sebelah tangan mengatur suara radio dan sebagian dirinya berlarian di atas jalanan yang penuh hujan.

Mendadak, suara wanita menelusup masuk, udara menjadi penghantar yang baik antara radio dan telinga, jernih sekali.

"Hari ini hujan turun, cocok sekali, ya, untuk mengurung diri dalam selimut, atau berkutat dengan novel sedih ditemani seduhan teh hangat. Ah, saya bisa membayangkan suasana rumah—"

Elang hendak mengganti saluran, namun lampu sudah berubah hijau. Ia menginjak pedal gas sembari mendengarkan dengan seksama meskipun terpaksa.

"—saya akan membacakan sebuah puisi yang dikirimkan oleh seorang pendengar. Ia ingin puisi ini dibacakan ketika hujan... Hmm, dari Nona Merpati?"

Elang ikut mengernyit ketika mendengar nama tersebut. Nona Merpati? Apa-apaan itu? Ia mendengus. Ah, mungkin hanya nama pena semata.

"For those who lost someone, and for those who hated rain for the long time. This poem belongs to you."

--


Jalanan kota yang tadinya ramai dan penuh sesak dengan kendaraan bermotor, lama-kelamaan mulai berkurang. Gantinya, air hujan kerap berjatuhan dan bertambah intensitasnya. Kabut semakin tebal dan Elang yakin bahwa orang-orang memutuskan untuk berhenti berkendara karena keterbatasan jarak pandang.

Tapi berbeda dengan dia. Ia sama sekali tidak peduli dan memilih menyalakan lampu mobil untuk membantu melihat. Bisa dikatakan alasan mengapa ia tetap melanjutkan perjalanan adalah, ia sedang terburu-buru, dan yang kedua karena ia ingin menikmati hujan ini dengan keadaan yang berbeda. Bukan seperti dirinya yang duduk manis di dalam sebuah kafe dengan buku catatan dan bolpoin, dan secangkir americano yang kerap mendingin.

Dalam perjalanannya, ia melihat sebuah siluet. Seseorang berdiri dengan payung di genggamannya. Elang sempat berpikir ia berhalusinasi, karena--ya Tuhan, apa yang dilakukan orang-orang di tengah hujan lebat seperti ini? Apalagi orang itu terlihat diam membeku di pinggir jalan.

Belum sempat Elang bisa berpikir lagi, jantungnya dibuat berhenti berdetak secara paksa.

Karena orang itu, melompat ke arah mobilnya.

Dan yang bisa diingat Elang berikutnya adalah suara benda bertabrakan disusul dengan suara ban mobil yang berdecit di atas aspal.

Juga tubuh seorang perempuan yang terpental beberapa meter di depan mobilnya.


"Ya Tuhan."

--


"Kau sudah sadar."

Elang menghembuskan napas lega ketika ia mendapati sepasang mata perempuan tanpa nama yang ditabraknya tadi sudah terbuka. Ia terpaksa mengganti haluan menuju rumah sakit kota yang untungnya terletak tidak begitu jauh dari posisi mereka tadi.

Perempuan itu berkedip beberapa kali. Menatap ke dalam mata Elang dengan tatapan yang entah apa maksudnya, mungkin bingung, mungkin heran, mungkin takut, mungkin terkejut setengah mati. Elang tidak tahu dan tidak berniat mencari tahu.

Perempuan itu mendudukkan diri, mengabaikan bagian-bagian tubuh yang penuh perban. Kepalanya pening tak terkira, ia menebak-nebak, mungkin bocor. Dan kakinya juga... sepertinya patah atau terkilir. Tidak tahu. Bahkan lengannya juga penuh luka.

"Kenapa?" tanyanya.

Elang terdiam. Bukankah seharusnya itu yang dia tanyakan? Bukan sebaliknya? Bukan ia yang seharusnya dijejali dengan pertanyaan sederhana itu, kan?


"Kenapa kau tidak membiarkanku tergenang saja?"


Elang tergelak. Hampir tertawa terpingkal. Kata-kata yang dipilih perempuan itu amat menarik. Elang memutuskan untuk memyimpan gelaknya dalam benak seraya memandangi perempuan yang kini terduduk di atas ranjang rumah sakit itu dengan tatapan penuh selidik.

Rambutnya lurus, jatuh menyentuh punggung, hitam legam seperti arang. Kedua bola matanya besar, dengan bulu mata yang lentik dan cantik. Apalagi pantulan yang ditimbulkan bola mata itu, berwarna cokelat gelap yang seakan-akan bisa menciptakan pelangi sendiri di dalamnya. Kulitnya kuning langsat, sekarang mungkin lebih pucat. Wajahnya bersih dan seakan terpahat rapi oleh Tuhan.

"Namamu?"

Perempuan tadi termenung. Memandang Elang dengan tatapan tidak mengerti. Jelas. Ia baru saja mengatakan apa, dan dibalas dengan apa. Ia akan lebih suka dengan tenang apabila Elang memutuskan marah dan mengatainya kurangajar daripada seperti ini.

"...Merpati."

Nama itu tidak asing.

Elang lagi-lagi membisu untuk beberapa detik. Ia mengabaikan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang masih saling terikat rumit di dalam kepalanya dan memutuskan untuk beranjak berdiri. "Istirahatlah, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu," katanya datar.

Hening pun menyelinap masuk seiring menjauhnya langkah kaki Elang, memeluk satu-satunya manusia yang ada di dalam ruangan itu. Mengizinkan ribuan tanda tanya menari-nari di bawah langit-langit kamar. Dalam benaknya yang masih sibuk mencerna, perempuan itu kembali bertanya.


Kenapa tidak Engkau biarkan saja saya menggenang, Tuhan?



To be continued.

Senja dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang