Merpati berdiri di berandanya. Angin berhembus kuat seperti ingin menerbangkannya entah kemana. Di dalam dirinya, Merpati merasakan ada api yang sudah membakar cermin-cermin yang selama ini ia simpan baik-baik di balik dada. Merpati merasakan panas membara yang belum pernah ia rasakan.
Ini masih pagi hari, langit berwarna kelabu dan terlihat bersedih. Hujan seperti akan turun. Merpati seakan tahu dan tengah menunggunya.
"Kenapa kamu melakukan itu?"
Merpati tidak ingat bagaimana rupa wajahnya, selain karena wajah itu ditutupi kacamata besar, juga indra penglihatannya buram, juga bau obat menusuk dimana-mana, juga kepalanya pening tak terkira, dan juga ingatannya yang seakan-akan tumpang-tindih meminta untuk segera ia hapuskan perlahan-lahan.
"Kenapa kamu melakukan itu?"
Pertanyaan yang sama kemudian datang berturut-turut, menakutkan, karena Merpati seakan-akan tidak memiliki waktu untuk mengelak. Meski bibir itu tak lagi terbuka untuk mengucap, meski sudah tidak ada siapa pun di hadapannya, meski ia sudah sendirian. Namun, kata-kata itu terus saja berdatangan, menghampirinya tanpa henti dan tanpa mengenal waktu.
Merpati mulai dirundung hujan.
"Kenapa kamu melakukan itu?"
Napas Merpati tertahan beberapa detik. Ia berusaha mengatur napasnya satu-satu. Menghitung mundur.
"Kenapa kamu melakukan—?"
Kepalanya pusing.
"Kenapa kamu—?"
Dunia di hadapannya seakan berputar. Matanya tidak bisa fokus menatap apa pun.
"Kenapa—?"
Ketika itu, ketika Merpati kemudian berhasil menghitung berapa rintik air hujan yang berhasil ia tangkap dan ia artikan aksaranya, ia akhirnya sadar dan kembali memiliki tujuan.
"Karena aku ingin hidup."
.
.
Ini adalah hari terakhir pameran. Elang berdiri bersama Putra di sudut ruang, mengasingkan diri dari keramaian orang-orang dan pemikiran. Mengamati bagaimana insan-insan itu menebak-nebak gambar yang ia ambil. Tidak ada yang janggal, berkali-kali datang dan pergi manusia yang sekadar penasaran atau yang memang memiliki niat untuk berdagang.
Lalu ketika Putra sedang berbicara dengan salah seorang pria berjas dengan jam tangan berharga ratusan juta rupiah di salah pergelangan, Elang melihatnya. Berdiri dengan gaun putih jatuh menjuntai hingga mata kaki, cardigan selembut sutra dengan rambut hitam tergerai begitu saja jatuh melewati bahu. Membelakangi, namun Elang tahu pasti.
"Kamu datang."
Merpati tertawa pelan.
"Apa yang kamu pandang?"
"Diriku sendiri," jawab Merpati. Di hadapan mereka terpampang sebuah foto, berwarna senja. Merah dan marah. Entah.
Elang tersenyum dalam diamnya. Membiarkan Merpati menelisik ke dalam hasil fotonya dan menyimpulkan sendiri. Membiarkan perempuan itu bercermin dengan cermin lain selain kedua matanya sendiri. Mengikhlaskan waktu-waktu berlalu dengan percuma hanya dengan duduk diam dan memandang.
"Pameran akan segera aku tutup."
"Berapa harga yang ini?"
"Kau mau membelinya?"
Merpati mengangguk, menjawab tanpa suara.
"Untuk apa?" tanya Elang.
Merpati menggeleng. Dengan mata masih terpaku pada lukisan senja di hadapannya. "Berapa harganya?"
"Untuk apa?" Elang bertanya lagi.
"Untuk mencintai diriku sendiri."
.
.
Nyatanya, lukisan senja itu tidak sampai di tangan Merpati. Sore ini, mereka duduk berhadapan di sebuah kafe yang berjarak tak jauh dari apartemen. Merpati masih sakit, entah fisik, entah batin, entah keduanya. Elang tidak tahu mana yang benar dan salah.
Secangkir Americano dan café latte panas mengepul di hadapan mereka. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Elang sibuk membuka kameranya dan memandangi jepretan fotonya sedang salah seorang lainnya sibuk menatap burung-burung yang berkicauan di dahan-dahan pohon dengan bayangan senja sebagai latar belakang.
"Apa ada hubungannya?" tanya Elang tiba-tiba. Dalam kameranya terpampang sebuah foto yang tak lama ia ambil. Foto tentang Merpati dan senja juga air mata. Foto yang ia ambil diam-diam dengan kerumitan sudut sedemikian rupa. Menghasilkan semi siluet dengan mata menerawang dan warna oranye biru itu bercampur menjadi kelabu.
"Tentang?"
"Kamu dan senja. Antara kamu dan senja."
Merpati terdiam. Ia melirik Elang dengan kedua bola matanya yang nampak berkaca-kaca. Seperti siap pecah kapan saja.
"Aku mencintai senja," ujarnya.
Sebelum matanya benar-benar meneteskan air mata.
"Jangan menangis," ujar Elang. Nadanya terkesan dingin dan tidak peduli. Matanya melirik bagaimana Merpati menangis tanpa suara dan tanpa aba-aba. Memerhatikan bagaimana pundak itu bergetar pelan. Memerhatikan bagaimana kemudian segalanya menjadi sunyi dan senyap.
"Foto senja itu tidak dijual. Jangan dibeli." Elang berujar lagi. Senja hampir habis dan langit hampir berwarna gelap.
.
.
Mereka berdua berjalan beriringan. Kanan-kiri, kanan-kiri, berhenti. Begitu sadar, mereka sudah berada di sebuah jembatan panjang. Berlalu-lalang mobil dan kendaraan lainnya. Ramai dan penuh dengan suara deru mesin beradu dengan suara klakson yang bergema dimana-mana.
Cahaya-cahaya itu bertabrakan satu sama lain, membentuk pelangi tak sempurna wujudnya. Banyak sekali. Merpati bingung menghitung, hitungannya mirip seperti yang biasa ia lakukan. Satu, dua, tiga, empat.
Elang mengambil rokok dalam sakunya. Memerhatikan bagaimana kotak rokok itu berada di tangannya. Menatap lama, sebelum akhirnya ia buang begitu saja keluar jembatan. Membiarkan batang-batang rokok yang masih utuh itu berjatuhan di atas derasnya air yang mengalir di bawah. Elang menatap itu semua dengan tatapan yang entah apa artinya.
"Kenapa kamu buang itu?"
"Aku tidak punya alasan untuk menyimpannya." Elang menjawab, nadanya terkesan enggan namun seperti tersirat ada banyak yang ia sembunyikan. "Kau tidak kesusahan berjalan dengan pincangmu itu, ya? Padahal belum sembuh, tapi kau nekat sekali kemana-mana meski pakai skruk."
"Itu karena ada yang menungguku." Merpati menjawab. "Dia bilang akan menunggu di pameran. Lalu sekarang kami jalan-jalan tanpa tujuan. Aku tidak mempermasalahkan meski kesusahan berjalan. Ini hanya luka biasa."
"Luka biasa," ulang Elang, "jadi, ada luka yang tidak biasa?"
Merpati terdiam sebentar. "Luka yang tidak bisa dilihat. Luka yang tidak bisa dimengerti semua orang. Luka yang hanya bisa dirasakan bagi mereka yang pernah merasakannya. Luka yang tidak ada yang bisa memahami seberapa dalam dan perihnya itu."
"Apa yang terjadi padamu, Merpati?"
"Aku juga ingin tahu apa yang terjadi padaku. Aku juga ingin paham seperti apa aku dan apa yang harus aku lakukan demi diriku sendiri." Merpati menjawab.
Elang menghela napasnya kasar. "Dalam kehidupan semua manusia punya tujuan. Mereka diciptakan tidak hanya untuk bernapas sembari menunggu maut menyapa. Apa kamu punya tujuan?"
"Tujuan?"
"Iya."
"Aku ingin hidup." Merpati menjawab. Ia menolehkan kepalanya dan menatap Elang dengan tatapannya yang penuh akan sarat kesedihan. Menunjukkan bagaimana keras keinginannya dan seberapa dalam juga keputusasaannya.
"Aku ingin hidup."
.
.
bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Hujan
RomanceAda dua hal yang sudah diketahui pasti oleh Elang. Yang pertama, ia tahu bahwa Merpati membenci hujan. Dan yang kedua, Merpati jatuh cinta kepada senja. - Diadaptasi dari puisi berjudul sama -