Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, sebulan, berbulan-bulan. Selama itu Elang sudah mengenal Merpati. Mereka bertegur sapa namun tidak berbasa-basi. Apartemen mereka berhadapan namun waktu mereka berbeda. Seringkali Elang pulang di saat Merpati pergi, dan sebaliknya. Tidak ada lagi langkah beriringan. Hanya ada sapaan singkat dan sebuah anggukan.
Namun hari ini berbeda.
Elang yang biasanya bertemu Merpati di koridor, atau lebih-lebih di depan lift karena ketika ia ingin naik, Merpati akan turun, namun kali ini mereka bertemu di persimpangan jalan. Merpati duduk di kursi kayu dengan tangan memegang buku jurnalnya. Elang sendiri baru pulang, dengan tangan masih penuh memegang kamera dan beberapa berkas foto lain.
"Sore?"
Merpati berjengit. Kaget karena ia sedang membaca ulang isi jurnalnya. Itu seperti buku harian. Setelah ia mengaku ingin mencoba hidup, Merpati menulis hal-hal yang ingin ia lakukan dalam sehari dan dalam jangka waktu yang lama. Ia menemukan impian-impian yang belum pernah ia pikirkan selama ini. Ia mencoba melangkah keluar dari zona nyaman dan mulai hidup menjadi dirinya sendiri tanpa kata tapi dari orang lain.
"Oh, hai?" Merpati membalas. Ia langsung memperbaiki cara duduknya dan menatap Elang yang kini berdiri tepat di hadapannya, memandangnya dengan alis terangkat sebelah.
"Kau terlihat lebih baik."
"Ya," jawab Merpati. "Aku sudah sembuh."
"Kau menunggu senja?"
"Ya."
"Itu bagus."
Elang ikut mendudukkan dirinya di kursi panjang itu. Ia membuka kameranya dan mulai menyalakannya. "Aku akan ikut menunggu senja."
"Kenapa?"
"Untuk mengambil gambar."
Merpati kemudian terdiam. Ia memilih untuk memandang lurus ke depan, dimana kendaraan berlalu-lalang dengan jarang. Ini tidak seperti perkotaan yang ramai dan penuh sesak. Orang-orang suka naik metro atau bus daripada kendaraan pribadi. Sering juga memilih jalan kaki dan bersepeda. Maka senja dan pemandangan toko kue yang ada di hadapan mereka sore ini bisa dikatakan jauh lebih indah daripada yang bisa dibayangkan.
Senja itu komposisinya dari berbagai warna. Merpati kerap kali menemukan bentuk senja berbeda tiap harinya.
"Elang." Merpati memanggil ketika lampu lalu lintas di hadapan mereka berubah menjadi hijau dan kemudian udara dikelilingi suara klakson-klakson kendaraan. Juga ada tawa sepasang remaja yang baru saja menyebrang jalan, samar. "Menurutmu, senja itu bagaimana?"
"Senja itu..." Elang terdiam sejenak. Ia memandang langit untuk mencoba mencari jawaban. "Oranye, biru, kelabu."'
"Kenapa?"
"Karena kau sakit karena senja. Kalau oranye dan biru kamu campurkan, itu akan menjadi senja. Senja itu kelabu, dia membawa hal-hal yang tabu."
"Senja itu... oranye, biru, kelabu," ulang Merpati. Ia menolehkan kepalanya dan memandang ke persimpangan jalan. Ada gedung yang menghalangi cahaya matahari senja, langit penuh dengan awan yang berserakan, langit berwarna oranye dan biru, sedikit merah muda dan ungu. Lengkap seperti pelangi namun lebih luas.
Elang mengangkat kameranya. Membiarkan lensa menangkap apa yang dia inginkan.
.
.
"Bukumu itu, berisi apa?"
"Hal-hal yang aku inginkan di kehidupanku."
"Kau baru membuatnya akhir-akhir ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Hujan
RomantizmAda dua hal yang sudah diketahui pasti oleh Elang. Yang pertama, ia tahu bahwa Merpati membenci hujan. Dan yang kedua, Merpati jatuh cinta kepada senja. - Diadaptasi dari puisi berjudul sama -