Tentang Merpati

21 3 0
                                    


Namanya Merpati. Seorang gadis berumur dua puluhan, mahasiswi di sebuah kampus biasa di tengah kota, hobinya menulis dan menyanyi. Ia tergabung dalam sebuah kelompok paduan suara khusus dan mengikuti berbagai kompetesi di seluruh penghujung dunia. Kecintaannya pada nada sempat membawanya ke negeri orang, menjadikannya asing dan membuatnya tersadar akan arti sebuah rindu terhadap tanah kelahirannya sendiri.

Hari itu, ia mengerjakan kegiatannya seperti biasa. Menjadi salah satu anggota multimedia di kampusnya membuatnya harus tinggal lebih lama di dalam ruangan rapat. Menjadikannya harus berkutat dengan narasi-narasi yang masih ia sambung kelanjutannya dan puluhan foto baru yang dipotret selama event berlangsung kemarin.

Merpati mendapat tawaran berupa ajakan pulang bersama. Ia dinjanjikan agar tidak merasakan sengatan matahari yang membakar maupun gigil dingin yang disebabkan hujan deras mana pun yang menusuk tulang. Tapi Merpati enggan, ia berkata pada Gilang—temannya yang menawarkan tumpangan—untuk tetap tinggal saja sambil menggarap proyek agar tidak lagi gagal.

"Pulanglah. Kamu dicari oleh orang-orang." Begitu ucap Gilang sebelum akhirnya keluar dari ruangan dimana ada Merpati di dalamnya.

Tapi suara itu tidak menggantung lama di langit-langit. Segera, ketua dari multimedia, Bima, menyerobot masuk dan mengingatkannya akan batas tenggat akhir dikumpulkannya jurnal dan artikel. Proses pembuatan video, dan percetakan majalah sudah menunggu juga. Masih banyak tulisan yang harus direvisi dan dibenarkan tata letak ejaannya. Banyak yang harus Merpati lakukan.

Teman-temannya juga sama sibuk. Tidak hanya ada satu atau dua proyek. Ada puluhan, bahkan ratusan ide. Tapi tidak ada yang protes, mereka suka dengan kesibukan yang mereka ciptakan sendiri.

"Mungkin kamu harus pulang. Langit mulai gelap." Bima berujar, setelah membereskan laptop dan buku-buku kecilnya di atas meja. Tidak hanya mereka di ruangan ini, ada puluhan lainnya, tapi segalanya tak lebih dari latar belakang.

"Kenapa?" Merpati bertanya tanpa ada keinginan untuk mengalihkan tatapan dari layar laptop yang berkedip-kedip.

"Hujan akan turun."

"Jangan percaya cuaca."

Bima mendengus. Memang selalu seperti itu. Merpati memang keras kepala apabila sudah memiliki sebuah keinginan. Dan perempuan itu—Bima yakin seratus persen—bahwa ingin tinggal sejenak dalam ruangan demi menyelesaikan pekerjaan.

"Baik." Bima meletakkan payung. Hitam legam, cantic dan seakan bisa menjelma menjadi seribu warna lainnya. Entahlah, siapa yang tahu tentang keajaiban air hujan? "Aku titipkan ini padamu. Pakailah apabila hujan benar-benar turun."

"Terima kasih."

--

Matahari seharusnya menyengat terik sekarang. Merpati duduk di dalam kafe. Setelah diusir oleh para anggota Badan Eksekutif Mahasiswa, pasukan multimedia segera menyebar keluar dari ruangan seperti semut. Merpati memutuskan untuk berjalan sendirian di barisan paling belakang. Mengamati sejoli di depannya yang sibuk berbisik tentang gosip yang ada di antara dosen dan mahasiswa. Lalu ketika semua orang sibuk berjalan ke arah parkiran, Merpati menghentikan langkah. Membalik badan kemudian pergi melalui jalan lain.

Ia berjalan kaki.

Menyusuri deretan toko, melewati perpustakaan kota, menatap jalanan yang membentang, memotong jarak antara bilik penjara dan kantor walikota.

Mendadak, Merpati mematung, dari jendela kafe yang sebesar dinding terlihat jelas bagaimana jutaan kristal itu jatuh begitu saja dari atas. Awan terpecah belah dan hujan berguguran. Pemandangan yang amat indah, karena kota mendadak kacau dan orang-orang panik mencari tempat berteduh.

Suara hujan bergabung, menciptakan keharmonisan tersendiri dengan deru kendaraan dan umpatan orang-orang. Juga denting keirncing bel pintu karena saking banyaknya manusia berdesakan masuk ke dalam kafe.

Suasana berubah ramai. Merpati benci itu.

"Terima kasih. Silakan datang kembali."

--

Hujan mengguyur-guyur dirinya. Payung yang diberikan Bima padanya ternyata sangat berguna. Merpati sudah berjalan menjauh dari kafe tadi, mencari destinasinya yang sudah berulang kali hilang dan kembali. Kemana dia akan pergi siang ini?

Merpati diam di sudut kota. Menatap jalanan lengang yang ditimpa air hujan. Mendadak, semua kejadian berurutan masuk ke dalam ingatan. Menjelaskan satu per satu alasan kenapa dia sedang berada di sini. Mengingatkan akan kenyataan pahit mengerikan.

Pemikiran itu datang begitu saja.

Ia ingin hilang.

Dan itulah yang akan dilakukannya sekarang.

Merpati melepas payung di tangannya. Melompat ke jalanan basah, dan tepat saat itu sebuah mobil menabraknya. Rasanya tubuhnya seperti terbang, terpelanting berapa jauh sebelum berdebum menimpa tanah kembali.

Kepalanya berdenyut dan berputar. Mata Merpati terbuka dalam beberapa saat. Ia bisa melihat bagaimana cakrawala menertawakannya dari atas sana, ia bisa melihat air hujan dengan sangat jelas, bahkan ia hampir menghitung rintiknya saking jelasnya ia melihat. Lalu, Merpati melihat beberapa orang—terbang di atasnya. Dalam sepersekian detik, dan ia tahu siapa-siapa saja mereka.

"Ya Tuhan! Kau tidak apa-apa?"

Telinganya berdenging sebegitu menakjubkannya. Suara itu adalah satu-satunya yang didengar Merpati sebelum hitam itu meguasainya. Sebelum sunyi itu menyembunyikannya dari apa pun dan siapa pun.



to be continued

Senja dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang