Pameran itu berjalan lancar di hari pertama dan kedua. Begitu saja. Tanpa adanya hambatan yang berarti. Bahkan, kenyataan hari-hari sebelum dilaksanakannya pameran terjadi kecelakaan yang aneh seakan bukan apa-apa bagi mereka.
Senja hampir turun ketika Elang keluar dari gedung tempatnya mengajar. Selain memotret, Elang juga mempelajari bahasa isyarat. Keinginannya mempelajari Bahasa isyarat kemudian menjadikannya ingin mengabdi, membalas budi kepada instansi yang mengajarinya, Elang pun jadi salah satu di antara mereka.
Esok adalah hari terakhir berlangsungnya pameran, juga hari dimana foto-fotonya akan dilelang dengan harga bermacam-macam. Tapi senja ini tidak ia gunakan untuk kembali ke studio. Ia pergi menggunakan mobilnya ke daerah perbukitan rendah di sana. Senja masih tersisa ketika ia sampai di tujuan, bukit kecil dekat desa dimana ia dilahirkan.
Ia mengernyit, bingung ketika mendapati sesosok lain yang juga berada di sana. Seorang diri. Berdiri ditopang skruk dan kepala dililit perban rumit. Sosok itu mengingatkan Elang dengan seseorang.
"Merpati?"
Benar. Tebakan Elang rasa-rasanya tidak pernah salah, karena begitu ia menyebut nama itu, sosok di hadapannya menoleh. Rautnya terkejut namun hanya bertahan sekian detik dan digantikan ekspresi datarnya yang luar biasa. Pantulan matahari senja menjadikan mata cokelat itu seperti dipenuhi cahaya, seperti bintang. Sejenak, Elang tersentak karena ia seperti menemukan semesta di bola mata Merpati.
Hening menyelimuti keduanya. Merpati membuang muka dan memilih memandangi matahari terbenam. Sebentar lagi malam akan tiba dan Merpati harus segera kembali meski dirinya enggan beranjak pergi.
"Terima kasih." Merpati tiba-tiba berucap. Ia melirik dan mendapati Elang sudah berpindah tempat ke sisinya.
"Untuk?"
"Entahlah." Merpati membalas dengan gumaman. Kemudian mereka ditelan sepi. Kedua pasang mata terfokus pada matahari senja yang merangkak turun menjauh. Semakin lenyap dan hilang. Di sudut lain langit, terbitlah bulan yang seakan-akan hendak membelah diri sendiri.
Elang melirik, melihat bagaimana diamnya Merpati yang diiringi air mata. Elang melihat bagaimana kedua mata indah itu hancur dan retak begitu saja. Berkeping-keping membentuk kristal yang kemudian meleleh di antara. Elang tidak bertanya. Ia diam saja dan memandangi bagaimana akhirnya Merpati mulai bernapas sesenggukan dan tidak sanggup menahan pecah di dadanya.
"Kenapa kamu datang kemari?"
Elang membuka suara, alih-alih menanyakan alasan Merpati menangis, ia malah bertanya hal lain yang entah akan ada kolerasinya atau tidak. Tidak tahu.
"Untuk senja, aku datang." Merpati tahu kalau suaranya akan terdengar bergetar, tapi ia tetap menjawab sebagaimana pertanyaan itu dilontarkan. Ia menolak kenyataan bahwa kini ia sedang menangis dan hancur, rusak berantakan.
"Kenapa?"
"Tidakkah kau sadar aku sedang menolak sebuah pertanyaan?"
Elang kemudian bungkam. Ia tetap diam meski berikutnya Merpati terjatuh ke atas tanah dan melepaskan alat bantu jalannya. Ia seperti tidak peduli dengan rasa sakit yang mungkin akan merambat memenjarakan kaki-kakinya apabila ia bergerak gegabah seperti barusan. Merpati tidak peduli rasa sakit di fisiknya, hatinya lebih hancur dari itu.
"Aku akan mengantarmu, kau tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini." Elang memberitahu. Tidak menawarkan, ia menyatakan.
Langit sudah sepenuhnya berubah warna. Oranye, biru, kelabu, sudah hilang. Digantikan dengan gelap gulita dan cahaya kunang-kunang. Lampu jalanan berkedip remang di beberapa sudut jalanan. Mereka masih di sana dengan Merpati masih terduduk dengan pandangan lurus ke depan.
"Tidak perlu. Ada yang sudah menjemputku."
"Aku akan mengantarmu."
"Kemana kamu akan membawaku pergi?"
Elang termenung. Pertanyaan itu retorika. Pertanyaan itu seharusnya tidak perlu membuatnya terpekur lama untuk berpikir. Pertanyaan itu seharusnya mudah untuk dijawab apa saja. Pertanyaan itu retorika.
"Pulang."
Elang berujar.
"Pulang. Aku akan membawamu pulang."
.
.
Tidak dapat disangka oleh Elang bahwa Merpati berada di dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama dengannya. Gedung pencakar langit, menjulang tinggi dan bersinar terang. Tidak akan terlihat bahwa di balik gedung itu ada kawasan kumuh dan beberapa jalan tikus yang digunakan para gelandangan untuk tidur dan berbagi cerita. Merpati dan Elang tinggal di atas lantai yang sama dengan jarak lima langkah jauhnya.
"Sampai jumpa."
Merpati mengerutkan keningnya, tidak mengerti. "Kau berkata seperti kita akan bertemu lagi."
"Kita akan."
"Bagaimana caranya?" Merpati bertanya. "Kita tinggal di satu unit yang sama namun tidak pernah bertatap muka sebelumnya. Aku tidak tahu kamu dan kamu tidak mengenalku. Semesta kita berbeda sejak awal."
"Dan inilah momentumnya. Semesta kita bertabrakan sekarang, kamu tidak bisa mengelak dan menghindar lagi." Elang berujar santai. "Kamu akan datang. Besok, ke pameran lukisan yang terletak di ujung jalan sana. Kamu akan datang meski kakimu harus kau seret, meski kepalamu terasa mau pecah, meski tubuhmu letih luar biasa, tapi kamu akan datang."
Merpati tersentak. Tidak bisa bereaksi apapun lagi selain terkejut. Ia tidak mengiyakan dan mengelak pernyataan yang baru saja dibuat oleh lelaki di hadapannya.
"Aku bahkan tidak tahu kamu siapa."
"Elang." Elang menjawab, cepat dan lugas. "Namaku Elang."
bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Hujan
RomanceAda dua hal yang sudah diketahui pasti oleh Elang. Yang pertama, ia tahu bahwa Merpati membenci hujan. Dan yang kedua, Merpati jatuh cinta kepada senja. - Diadaptasi dari puisi berjudul sama -