Chapter 8 Gangguan

41 2 0
                                    

Suara daun yang bergoyang dihembus angin. Sinar matahari yang menembus sela-sela ranting. Suasana yang tenang yang membuat gue selalu bisa santai berada di Taman ini.

Gue sudah setengah jam berada di Taman ini. Gue berbaring di bawah pohon yang besar dan teduh. Gue mendengar sesuatu.

"Hey... Anu... A-aku mau bicara pada kamu. Bolehkan?" Gue mendengar seseorang yang berbicara dengan gagap. Gue melihat kearah bawah kaki gue. Gue melihat seseorang. Gue bangkit dan duduk untuk berbicara dengannya.

"Lo ada perlu apa sama gue? Emangnya lo siapa?" Gue terduduk dan melihat seorang cewek yang berdiri dihadapan gue.

"Aku siswa dari kelas IX A. Na-nanti setelah pulang sekolah. Kamu mau datang ke atap sekolah. Ada sesuatu yang ingin aku katakan pada kamu." Dia gagap saat berbicara.

"Buat apa gue dateng ke atap sekolah? Emang lo mau bilang apa ke gue? Lo kan bisa bilang di sini sekarang. Gue juga gak kenal sama lo." Gue menjawab dengan ekspresi datar.

"Nama ku Rama Sintia. Kamu bisa panggil aku Rama. Aku gak bisa bilang sekarang. Aku gak siap mengatakannya." Gue bisa menebak apa yang dia pikirkan.

"Jangan bilang lo mau ngungkapin perasaan lo ke gue. Jika lo memang mau mengatakan hal itu di atap sekolah. Mendingan gue jawab sekarang. Gue gak punya perasaan yang sama dengan lo. Jadi maaf." Gue yakin pasti hal itu yang ingin dia katakan. Gue paling gak suka sama hal begini.

"A-aku memang menyukai kamu. Aku sudah memperhatikan kamu sejak lama. A-aku suka kamu." Dia mengatakan hal yang sudah gue duga.

"Gue gak punya perasaan yang sama dengan lo. Gue juga baru kenal lo. Jadi gue gak bakal menerima perasaan lo. Mendingan lo cari seseorang yang bisa nerima lo." Gue mengatakan hal seperti itu dengan mudah. Gue tau itu bakal menyakiti perasaannya. Tapi itu lebih baik dari pada terus menunggu hal yang tidak berujung.

Cewek itu langsung pergi tanpa mengucapkan satu kata pun. Dia berlari dengan cepat. Gue gak tau dia bakal benci gue atau tidak. Setidaknya dia terlepas dari bayang-bayang perasaan yang tak berujung itu.

"Wah... Jadi pangeran baru saja menolak seorang cewek ya. Sangat disayangkan." Suara ini berasal dari balik pohon yang berada tepat di belakang gue. Gue juga gak merasa asing dengan suara ini.

"Sejak kapan lo berada di situ? Berhentilah jadi tukang kuping. Keluarlah Do." Gue kembali berbaring di bawah pohon. Gue kembali bersantai.

"Sejak kapan ya? Mungkin sejak Jangan bilang lo mau ngungkapin perasaan lo ke gue. Gue gak nyangka lo bisa sepede itu. Emangnya lo apa ha? Pangeran Negeri Dongeng?" Ridho dengan kebiasaannya, selalu membuat gue kesal dengan ucapannya.

"Terserah lo lah. Gue gak peduli dengan hal begitu. Ngapain lo datang kemari? Gak biasanya." Gue abaikan kata-kata dia barusan. Gue bertanya padanya.

"Hem.. Gue cuma mau jumpain si pangeran. Gue cuma mau bersama dengannya." Gue diam sejenak dengan apa yang dia katakan.

"Ha! Gue masih normal. Lo gak usah aneh-aneh." Gue baru sadar dengan ucapan dia.

"Hahaha, gue kan bercanda. Ngapain lo anggap serius. Hahaha, wajah lo kok memerah?" Dia tertawa melihat gue. Gue jadi kesal.

"Dasar lo. Haaa..." Gue melompat kearah Ridho. Gue langsung mengepit lehernya. Gue kesal kali dengan apa yang dia bilang.

"Han le-pas nanti gue mati." Dia berbicara terpotong-potong.

"Biarin. Emang gue peduli apaaa..." Dia menggigit tangan gue. Gue langsung lepasin kepitan gue

"Haaa... Akhirnya lepas juga. Gue kira bakalan mati." Dia berbicara sambil memegang lehernya.

"Do! Kenapa lo gigit tangan gue. Bau lagi bekas gigitan lo." Gue menggosokkan tangan gue ke rumput.

"Hahaha, dari pada gue mati, bagus gue gigit tangan lo. Hitung-hitung baunya gue hadiahin buat lo." Dia semakin terlihat senang.

"Dasar! Gak usah ganggu gue lah. Gue lagi mau sendiri." Gue kembali berbaring sambil memejamkan mata.

"Jangan suka sendirian. Terkadang ada masanya lo itu butuh seseorang." Gue sudah lama sadar sebelum dia mengatakan hal itu. Tapi bagi gue sendiri itu menyenangkan.

"Gak usah sok jadi penasehat deh lo. Gue gak mau diganggu. Suh suh, pergi sana." Gue mengusirnya.

Tak ada lagi suara yang terdengar setelah beberapa saat. Mungkin Ridho kembali ke kelas setelah mendengar kata-kata gue. Gue kembali membuka mata untuk memandang langit yang bersinar bersama matahari. Gue merasa tenang. Suara angin yang bertiup, suara rumput yang bergoyang. Semua terasa sangat nikmat bagi gue.

"Hua!" Ridho tiba-tiba melompat kedepan gue. Gue terkejut.

"Hua... Sialan lo Do. Kemari lo!" Ridho berlari meninggalkan gue. Gue kesal lihat tingkah anak yang satu ini. Gak ada bosennya jahili orang lain.

Gue bangkit dan langsung mengejarnya. Gue berlari berusah menangkapnya. Gue berfikir kalau dia tertangkap gue buat dia menjadi gepeng. Gue terus mengejar dia, nafas gue mulai gak karuan. Gue kehilangan dia. Gue gak tau lari kemana itu anak. Hp gue bergetar.

"Si-siapa sih yang SMS." Gue makin kesel setelah baca SMS yang masuk ke Hp gue.

"Han lo capek? Kasihan amat sih lo. Selamat berjuang." Gue makin kesal. Gue terus mencari Ridho kesana kemari.

Gue cari-cari kesana kemari. Gue gak jumpa Ridho juga. Gue duduk sejenak di bangku yang berada di depan gue. Gue terduduk untuk beristirahat sebentar. Gue benar-benar capek.

"Lari kemana sih ini anak, kok ngilang ya." Gue masih kelelahan. Gue gak nyangka bakal capek begini.

Tring... Tring... Bel pulang pun berbunyi. Gue masih terduduk, gue bener bener capek. Hari ini adalah hari yang melelahkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bagaikan Cahaya BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang