"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan denganku, Ki?"
Aku mulai memberanikan diri mendongakkan kepalaku, merasa terhanyut akan tatapannya sekaligus terpesona akan pancaran matanya. Kesadaraan akan apa yang ingin aku katakan seketika mengaktifkan akal sehatku, membuatku tergagap dan kebingungan harus memulai pembicaraan ini dari mana.
Disinilah aku, duduk berdampingan dengan Genta di sofa ruang tamu apartemenku. Dengan dalih ingin menceritakan masalahku dengannya, aku sedikit memaksa Genta untuk mampir sebentar ke apartemanku. Tidak sulit memintanya, jika saja dari awal nada bicaraku tidak memaksa pun Genta pasti akan tetap menyanggupinya, bahkan sejak diperjalananpun dia sudah mendesakku untuk segera bercerita padanya. Entah sudah berapa kali dia mengulang kalimat barusan.
"Ehm, Gen, kayaknya kita makan dulu aja deh," ucapku tidak bisa menghilangkan kegugupanku.
Genta menghembuskan nafasnya, "Ini masih terlalu sore buat makan malam Ki."
"Tapi aku belum makan siang Gen. Please.." Aku sedikit memohon diakhir kalimatku. Apa yang aku ucapkan tentu saja bohong. Sejak ada nyawa lain di dalam rahimku, aku tidak pernah bisa menahan nafsu makanku. Didesak lagi dengan rasa tanggung jawabku untuk menjaga kesehatan buah hatiku, aku tidak mau mengambila resiko sekecil apapun jika melewatkan jadwal makanku.
"Oke, ayo makan!" Sepertinya dia mencoba memahami kegelisahanku dengan memasang senyum indahnya. Genta berdiri dan dengan santai membuka kemeja yang dipakainya.
"Kamu ngapain!" Ucapku refleks sambil menutup mata. Pertanyaanku itu hanya dijawab dengan kekehan gelinya. Perlahan ku buka mataku dan ternyata dia memakai baju kaos didalam kemejanya.
"Ya ampun Ki! Udah pernah liat juga kan, ngapain tutup mata sih?! Lagian aku cuman lepas kemeja doang kok. Atau kamu takut nggak bisa nahan diri ya liat badan aku?"
"Aku bukan tergoda sama badan kamu. Lebih tepatnya—" bokong kamu. Aku meringis di akhir kalimat, hampir saja melontarkan pikiran nistaku. Kulirik Genta yang kini menatapku jahil. Hormon kehamilan sialan! Sejak hamil aku begitu mendamba bokong Genta. Jika saja lelaki ini suamiku, ingin rasanya aku meremas bokongnya yang terlihat seksi di mataku.
"Tertarik sama apa, hmm??" godanya menaik turunkan alisnya.
"Sudahlah, nggak usah dibahas! Ayo makan!" aku segera pergi ke dapur, meninggalkan Genta yang tertawa terbahak-bahak.
••••
"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan denganku, Ki?"
Baru saja aku meletakkan sendokku sehabis makan, lagi-lagi Genta melontarkan pertanyaan yang sama entah sudah yang keberapa kalinya. Aku kembali gugup. Padahal aku sudah memikirkan matang-matang akan hal ini. Aku akan mengatakan perihal kehamilanku pada Genta. Aku juga sudah mempersiapkan langkah yang harus aku ambil apapun jawabannya. Genta sudah berulang kali melamarku sejak kejadian malam itu, malam dimana aku kehilangan keperawananku olehnya. Jika Genta masih bisa menerima kehadiran anak ini, aku akan terima lamaran untuk menikah dengannya, biarlah aku dikasihani olehnya asalkan anakku bisa mendapatkan yang terbaik. Tapi jika Genta tidak bisa menerimanya, sudah aku putuskan untuk pergi menjauh dari kehadirannya.
Aku sudah merencanakan semuanya, bagaimana caraku memberi tahukan kabar ini pada Genta. Tapi lidahku tetap saja kaku. Semua kalimat yang sudah aku rangkai menghilang tanpa jejak. Membuatku gelisah tak menentu. Aku mencengkram kuat-kuat gelas yang ada di depanku, mencoba mengumpulkan kekuatan yang ada dalam diriku. Dan tiba-tiba,
PRANGGG!!
"KINARI! SADAR!!!" Genta berada di sampingku mengguncang bahuku. Aku tersadar bahwa aku baru saja membanting gelas yang ada dicengkramanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
+ (Positive)
Chick-Lit[UPDATE SETIAP HARI SENIN] Kinari hamil! Diputuskan pertunangan saja sudah seperti aib bagi seorang Kinari. Ketakutan akan pandangan orang lain terhadap dirinya, selalu membayangi Kinari. Dan di bawah bayangan akan ketakutan atas aibnya, Kinari mabu...