KEPINGAN KENANGAN mengenai dirinya dan Indhira kembali ke permukaan. Dadanya sesak. Ini kali pertama Raka mengecup lembut bibir perempuan itu. Ia merasa bersalah karena telah mengatakan hubungan mereka sebatas pertemanan. Akan tetapi, jauh di lubuk hati terdalam, tidak akan ada kata 'biasa saja' jika sudah terlalu dekat dengan seorang gadis.
Raka kembali memeluk Indhi, membelai rambutnya yang terasa halus di jemari. "Aku enggak ingat kau hilang Dhi. Apa gara-gara aku?"
Indhira menarik tubuhnya, menyeka air mata yang menggenang, "Bukan. Bukan kok."
Ia melepas pelukan Raka dan duduk di pinggir teras, membiarkan kakinya menggantung di antara sela-sela jeruji. Raka duduk di sampingnya, menyandarkan keningnya pada pagar besi yang terasa dingin.
Perempuan itu menggenggam jeruji pagar, menyusun kata-kata, "Meskipun sudah dua tahun, tapi.... Kamu ingat ibuku sudah meninggal 'kan?" Raka mengangguk, perempuan itu melanjutkan, "Ayah tiriku, melihatku dengan tatapan yang berbeda semenjak mama meninggal."
"Maksudmu?"
"Dia menyentuhku," jawab Indhi. Raka hanya bisa mengerutkan alis meminta keterangan lebih lanjut. Gemas, Indhi berkata, "Kenapa kamu enggak pernah peka sih? Dia menyentuhku seperti kau menyentuhku!"
"Apa?" Raka terdengar bodoh; tidak tahu apa yang mesti dikatakan. Memikirkan seorang ayah mencium anaknya ke arah sana membuat Raka bergidik geli, bahkan jijik. "Ew, sakit. Terus kau kabur? Enggak mencoba cerita hal itu ke siapapun?"
"Ke siapa, Ka? Kamu? Iyas? Yang bener aja? Walaupun aku cerita, toh kalian enggak bisa berbuat apa-apa," suara Indhi sedikit meninggi.
"Kau bisa...tinggal dengan kami," ujar Raka sembari merapatkan jaketnya.
"Ya? Tidak semudah itu," Indhi balik bertanya, "Bayangkan kamu ini perempuan dan berada di posisiku. Apa yang akan kamu lakukan?"
Apa yang akan Raka lakukan? Mudah melakukan apapun karena ia laki-laki. Namun bagaimana seorang perempuan bersikap? Mereka bukan lagi anak SMA yang bisa dibantu guru untuk setiap masalah. Tidak mungkin juga dia bercerita ke dosennya 'kan? Menjelaskannya ke seluruh teman di angkatan? Bisa-bisa hal ini malah jadi bahan gunjingan. Membawanya ke polisi? Psikolog? Raka tidak punya kenalan yang bekerja di bidang itu. Semua hal yang Raka lakukan mungkin hanya akan memperkeruh keadaan.
"Aku enggak tahu," gumam Raka, menyerah.
"Makanya Ka, aku enggak punya pilihan selain kabur," ucap perempuan itu. "Aku mencoba memotong nadiku. Aku enggak bisa. Aku benci rumah itu dan kabur. Seseorang memberikanku selembar pamflet, menawarkan 'kehidupan baru'. Bukan pilihan bagus, tapi aku terlalu frustasi untuk berpikir."
"Lalu kau dibawa ke 'kehidupan baru' di Orenda dan keberadaanmu lenyap?"
Indhira mengangkat bahu, "Mungkin. Aku enggak paham."
Indhi berkisah kala ia kali pertama datang ke Floor. Ia kira perempuan itu akan datang sendirian, nyatanya lebih dari sepuluh orang berkumpul di tempat yang tertera pada selembaran itu. Bulan tak penuh, dan hujan mengguyur sepanjang hari. Wajah-wajah yang muncul di sebuah gudang senjata yang tak lagi tak terpakai bukanlah wajah mencurigakan layaknya kriminal, melainkan mereka yang tampak kehilangan semangat hidup bagaikan bunga layu.
Mereka diminta untuk berbaris dua banjar dan menunggu hingga seorang pria berhidung bengkok datang dan memberikan introduksi. Selamat datang pengalaman baru, katanya, selamat tinggal masa lalu. Benar-benar slogan yang norak, pikir Indhi. Namun iming-iming dunia baru di benaknya membuat ia sangat ingin pergi dari sana secepat mungkin.
Bersama belasan orang sisanya, Indhira memasuki sebuah ruang yang ia kira adalah gudang. Rasa sedikit kecewa muncul karena tempat itu tidak seperti sebuah wahana dalam pikirannya. Banyak pintu menuju ruang lain hingga ia tidak tahu menahu lagi mengenai keberadaannya. Gudang itu terasa lebih besar. Sebuah ritual kecil ia lakukan atas permintaan seorang rekan si hidung bengkok: meminum satu sloki cairan yang ia kira adalah alkohol —terlalu kental, terasa seperti obat batuk, dan tidak enak untuk disebut alkohol. Tak lama ia hilang kesadaran dalam waktu entah berapa lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Down There Is What You Called Floor [END]
FantasyKepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bahkan bunuh diri, Raka tidak berpikir demikian. Entah kenapa Raka sangat yakin bahwa kematian temannya...