2nd Floor

1.2K 190 46
                                    

"Raka?" Nova tak habis pikir bagaimana bisa pemuda itu hilang tepat di hadapannya. Sekilas Nova menyadari bahwa Raka menoleh ke belakang. Satu kerjapan mata, pemuda itu lenyap.

Tidak ada cahaya yang membutakan ketika hal itu terjadi. Tidak ada pula angin kencang yang menyebabkan debu-debu beterbangan dan masuk ke dalam matanya. Rasa heran gadis itu sama ketika ia datang ke permukaan atas untuk pertama kali: begitu asing seolah-olah mimpi. Tidak mungkin ada seseorang yang raib begitu saja.

Menarik napas panjang, Nova menggenggam kalungnya. Memperlakukannya sebagai jimat, ia berharap bisa mendapatkan kekuatan dari kalung pemberian ibunya itu. Membuka mata, ia kembali berjalan meskipun kecepatan langkahnya lebih lambat dari sebelumnya, "Dasar, Raka bodoh," kutuk gadis itu.

Nova tergoda untuk berjalan menuju arah cahaya azuline, tetapi gadis itu tidak mau mengambil resiko. Ia mencoba mengingat jalur seperti apa yang biasa dilewati oleh para pengendara pagna. Namun seumur hidup ia menaiki kendaraan umum itu, jalur bawah tanah selalu gelap gulita. Sumber cahaya hanya berasal dari aksen flourecent dan topi yang dilengkapi senter dikenakan oleh para pengendara.

Gelap, kata ini bisa menjadi sebuah petunjuk agar ia bisa keluar dari Huva Atma secepatnya. Hanya saja ia tidak punya mata yang sensitif dalam kegelapan layaknya seekor burung hantu. Gadis itu mungkin tau ke mana ia harus berjalan namun kegelapan ini hanya membuat kakinya tersandung-sandung dan sakit. Nova lelah. Ia melepas sepatu bot, mengambil napas panjang.

Perutnya terasa ngilu. Gadis itu menahan napas sembari menekan tangannya di bekas luka. Menata pikiran, teringat seseorang yang membantunya pergi ke Permukaan Atas: seorang pria misterius berjubah usang. Orang itu tidak menyebutkan namanya, tetapi dia tahu Nova. Ketika sudah hampir seminggu gadis itu mencari ibunya ke sana kemari dan tidak kunjung ketemu, suatu malam seseorang mengetuk pintu flatnya.

"Nova Sarojin," sapa pria itu ketika pintu yang terbuka tertahan dengan rantai.

"Siapa?" tanya Nova waspada.

"Seorang teman," wajah pria itu tidak terlihat dengan syal dan tudung yang ia kenakan. Meskipun begitu tubuhnya tampak tinggi besar, "Di mana Kirana?"

Nova tertegun. Kirana adalah nama ibunya, "Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Dia belum pulang, ya?"

Nova tidak menjawab. Pria itu menahan pintu yang hendak Nova tutup. "Dia bilang untuk mengembalikan ini," tangannya yang besar masuk dari sela-sela pintu menggenggam sebuah liontin perak. Gadis itu hafal betul barang kepunyaan ibunya, apalagi dengan liontin yang dia selalu pakai setiap hari. Batu safir di tengah memantulkan cahaya; batu kesukaan ibunya.

Nova mengambil kalung perak itu, mendorong tangan si pria asing, menutup pintu kemudian membuka selotnya. Tinggi pria itu mungkin habis dua meter dan Nova hanya setinggi pinggangnya saja. Gadis itu menengadah. Wajah pria asing itu tidak terlihat karena siluet yang disebabkan dari lampu di lorong. "Di mana kau mendapatkan ini?" tanya Nova.

"Jadi Kirana memang belum pulang," pria itu terdengar cemas, "Dia menitipkan ini padaku dan meminta untuk mengantarkan kalungnya ke rumah. Kirana bilang dia harus pergi ke Permukaan Atas sebentar."

"Seminggu tidak sebentar," Nova merengut.

"Yah, aku tahu," pria itu membenarkan syalnya yang melorot. Nova tidak bisa melihat apapun kecuali mata biru gelapnya, "Kau mau mencari ibumu di sana?"

"Bagaimana caranya?" tanya Nova, "Bukannya sulit dengan segala embel-embel yang dilakukan raksaka?"

"Kami mempunyai sebuah pintu," ia merogoh-rogoh sesuatu di balik jubah kemudian memberikannya kepada Nova, "dan jika kau tidak berhasil menemukan Kirana di Permukaan Atas, kau tinggal melakukan apa yang tertulis di sini. Seharusnya dia bisa membantumu untuk kembali."

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang