13th Floor

701 127 38
                                    

LUKE MENDORONG kursinya hingga jatuh, mengambil langkah lebar menuju pintu, dan meninggalkan Eri yang mengaduh karena tidak sengaja terdorong. Kikuk, Nova mengikuti pria botak itu dari belakang, mengangguk ketika melewati perempuan yang tengah mengelus bahunya yang ngilu.

Ruangan yang Nova masuki lebih besar namun lebih padat. Mesin-mesin besar dan berat diletakkan berjajar bersamaan dengan lempengan besi yang diletakkan di atas lantai. Seorang pria lanjut usia melirik dari balik koran. Ia mengenakan topi baret usang berwarna cokelat dan duduk di belakang meja yang tepat menghadap pintu ruangan istirahat. Beberapa botol Armadillo terletak di atas meja, entah ada berapa jumlah botol yang kosong.

Nova mengerjapkan mata, mencari-cari sosok Luke yang melesat bagaikan angin. Pria tua itu mengedikkan dagunya ke arah pintu di sisi kiri dan kembali membaca korannya. Nova berterima kasih sambil membungkukkan tubuh. Susah payah gadis itu melewati mesin-mesin besar seperti mesin bor dan juga alat pemotong besi; beberapa kali ujung meja mengenai pinggulnya, membuat Nova berdesis menahan sakit.

Skafolding menyambut Nova ketika gadis itu keluar dari ruangan menuju sebuah bengkel dengan langit-langit tinggi. Ia mengikuti suara teguran lantang seorang pemuda, menyuruh Luke berhati-hati, dan Nova mengambil langkah lebar ke sumber suara.

Punggung lebar pria botak itu semakin menjauh, mengejar pamannya yang entah mempunyai selisih berapa langkah dengannya. Luke berseru, memanggil Ravi sekuat tenaga. Alih-alih berlari keluar, pria itu berbalik. Langkah lebarnya membuat Nova kebingungan karena ia menyuruh gadis itu untuk diam di tempat.

Diam di tempat? Yang benar saja! Nova sudah terlalu lama menunggu dan ia terlalu lelah mencari. Selangkah lagi ia bisa bertemu dengan seseorang yang ia percaya betul; seseorang yang bisa memberikannya jawaban. "Aku ikut!"

Tergesa-gesa, Luke kerap mengunci mulutnya. Ia memberikan gestur pada gadis itu supaya tetap diam di tempat. Matanya yang tajam siap membunuhnya jika gadis itu bergerak meskipun cuma satu inchi. Sekali lagi, pria itu menabrak pemuda yang tadi menegurnya. Dia cukup pendek dan lengan baju montirnya digulung hingga bahu.

Papan kayu yang ia bawah terjatuh saat itu juga, membuatnya mengerang kesal, "Luke, hati-hati bisa enggak sih?! Aku lagi kerja!"

Merasa bertanggung jawab, Nova menghampiri dan mengambil beberapa papan kayu yang terjatuh. "Maaf," tutur gadis itu pelan sambil mengulurkan benda yang ia ambil.

Tertegun, sikap pemuda itu berubah 180 derajat. Wajahnya yang kumal dengan debu tersipu malu; pemuda itu nampaknya tak jauh usianya dengan dirinya.

"Oh, maaf. Maaf? Ke-kenapa malah kau yang minta maaf?" tanya pemuda itu terbata. Ia mengisyaratkan untuk meletakkan papan itu di tangannya yang penuh. "Kenapa ada cewek secantik dirimu ada di tempat seperti ini?"

"Apa?" Nova kira ia salah dengar karena Dolores menggerung nyaring secara bersamaan.

Gadis itu menggigit bibir sementara Luke pergi dengan kekasihnya tanpa membawa Nova bersama mereka. Ia tidak mungkin bisa mengejar motor dua silinder itu. Menarik napas panjang, ia berharap pria itu dapat menemukan Ravi dan membawanya ke sini.

"Enggak, bukan apa-apa," pemuda itu memerhatikan arah pandang Nova dan berkata, "Kau datang bersama si Botak, huh? Orang itu selalu seenaknya sementara Eri enggak kayak perempuan." pemuda itu berdecak, menumpuk papan kayunya tak jauh dari skafolding.

Kepulan debu kayu muncul ketika ia menepuk kedua tangannya, "Aku yakin, kau bukan salah seorang dari teman main Luke di Distrik Karmir. Bagaimana bisa kau bertemu dengan si Om?"

Nova tidak mendengarkan. Pandangannya terus tertuju pada pintu bengkel yang setengah terbuka, berharap raungan Dolores kembali terdengar kemudian Luke datang bersama pamannya. Pemuda itu menjentikkan jari di depan Nova, membuatnya terkejut.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang