Somewhere - 1

3K 335 75
                                    

KUBILANG SAJA, ya, dunia itu tidak hanya sekadar dunia yang kau huni saja, Hiraka. Banyak dunia lain yang sesungguhnya berdiri secara independen dan seharusnya tidak saling berkesinambungan. Tetapi, manusia dan rasa penasarannya tak pernah berkurang. Mereka datang, mencari tahu hal baru dan pulang dengan hal-hal itu pula. Anomali seperti itu sesungguhnya tak boleh terjadi dan sesungguhnya hal itu membaca ancaman untuk orang banyak. Karenanya kami ada. Mencegah ancaman dan untuk menjaga keharmonisan... mereka harus melewati kami dulu.

Begitulah ucapan pria berpakaian serba hitam itu. Langkahnya ringan namun cepat. Meskipun begitu, perjalanan menuju tempat raksaka terasa amat panjang. Belum lagi tanpa adanya pemandangan yang menyenangkan indra penglihatannya. Tak lebih dari dua ratus meter mereka berjalan dari titik nol, Raka tidak lagi mengetahui di mana keberadaannya saat itu.

Sudut-sudut Kota Kembang yang populer dan sangat akrab di mata terlihat begitu asing. Deretan paving berwarna jingga pucat tak lagi terlihat. Gedung-gedung era kolonial entah bagaimana tergantikan dengan tembok putih tinggi dengan lilitan kawat di atasnya serta jalan yang menyempit. Kesunyian yang mencekam, ratusan mata yang seolah-olah memandang, perasaan diawasi membuat rambut halus di tengkuknya terkadang berdiri.

"Kau pasti bertanya-tanya mengenai ini semua kan, Hiraka?" tanya pria itu yang lebih ke arah pertanyaan retoris, "Kami berada di mana-mana, asal kau tahu saja. Tempat ini, tempat ini bisa dibilang nyata maupun tidak. Di dimensi lain bisa saja, tapi di mana? Dimensiku? Dimensimu? Apakah Floor dan juga Permukaan Atas dalam satu dunia yang sama? Atau mereka dunia yang berbeda? Kau tahu jawabannya Hiraka?"

"Tidak," jawab Raka sekenanya. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau enggak bilang?"

"Bukannya kau punya otak, eh, Hiraka?"

Urat di kepalanya nyaris retas. Apa-apaan? Raka dapat membayangkan pria yang tengah berjalan di depannya itu tersenyum mengejek, menampilkan giginya yang buruk. Belum lagi ia selalu memanggilnya dengan 'Hiraka' yang membuat Raka sendiri merasa tidak nyaman.

Suara parau itu kerap berbicara, panjang lebar; membicarakan tentang dua dunia, tidak, tiga dunia yang saling bertautan. Orang-orang di bawah sana sesungguhnya beringas, haus akan apa yang ada di atas sana, tempat Hiraka berasal. Si suara bangkong tidak menjelaskan lebih lanjut apa sesungguhnya yang dicari oleh mereka. Ia menambahkan bahwa apa yang dilakukan para raksaka —membawa mereka yang ingin melintas ke sini— adalah upaya kualifikasi agar mereka yang datang dan pergi tidak akan membawa suatu bencana. Setidaknya, tidak untuk Permukaan Atas.

"Kau mungkin bisa menganggapku sombong, Hiraka," ucap pria itu tanpa menatap Raka maupun Nova. Kedua kakinya terus berjalan di atas beton yang semakin sempit, "kami ini semacam utusan dewa-dewa. Kurang lebih. Lebih banyak kurangnya sih, tapi ya bisa dibilang begitu, kalau sombong. Tapi memang begitu kok sebenarnya.

"Masou sudah tua, terlalu tua malah untuk terus berususan dengan hal-hal seperti ini. Mungkin bentar lagi dia akan pensiun, siapa tahu. Seorang 'dewa' yang mati. Pernah dengar yang seperti itu tidak, eh, Hiraka?" orang itu menggerakan jemarinya membentuk kutip dua saat mengatakan 'dewa'.

Jalan di hadapannya bercabang; pria itu mengambil jalan ke kiri. Lorongnya, meskipun masih terbuat dari beton dingin, tak lagi ada kawat tajam melilit di atasnya. Alih-alih kawat-kawat itu berubah menjadi sulur hijau gelap yang merambat secara acak. Menengadah, langit tidaklah biru. Langitnya putih, seolah-olah mereka berada dalam suatu ruang simulasi yang dirancang sedemikian rupa.

Raka tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pria itu. Alih-alih ia berkata, "Jangan panggil aku Hiraka."

"Dewa-dewa mati," dia mendengus, mengabaikan permintaan Raka untuk tidak memanggil nama panjangnya, "Nyanyian ada untuk mengenang mereka, benar? Tembang, huh. Dalam kisah seperti nyanyian para penunggang naga, atau mungkin para pahlawan-pahlawan yang keberaniannya tak tertandingi ketika melawan seorang musuh. Nyanyian untuk mengenang. Heh. Setidaknya, supaya mereka tidak sekarat, orang-orang haruslah memujanya dan memberikan mereka sesuatu. Kami pun begitu, rakasaka.

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang