25th Floor

374 75 12
                                    

AIR MATA, isakan, serta tubuh gemetar Indhira membutakan seluruh indra yang Raka punya. Perasaan sedih, takut, dan amarah ketika ia menemukan tubuh kaku Jun menerpanya bagai ombak laut malam. Pemuda itu menjatuhkan tas ranselnya, berlari menuju pria yang menodong pistol ke kepala Indhi. Tanpa memikirkan risiko lebih, Raka menarik pakaian sosok itu, menghantam tinju ke pelipisnya. Di saat yang sama pula, sosok bermasker gas itu menarik pelatuk, secara tidak sengaja menembakkan peluru ke udara di tengah jeritan Indhira.

Rekan sosok bermasker gas itu berbalik, hendak menyelamatkan temannya. Akan tetapi, suara tembakan membuatnya jatuh. Tiga tembakan dan dia tak lagi bernyawa. Sementara itu kepalan tinju Raka terus diayunkan, begitu keras hingga tangannya terasa kebas; begitu lantang sehingga menulikan pendengarannya.

Tak terdengar lagi sosok yang ia pukuli meminta ampun. Tak bisa pula ia menyadari bahwa tindakannya telah melewati batas. Wajahnya terasa panas, Raka menggeram bagai orang kesetanan; tidak memperdulikan buku jarinya yang ngilu dan hangat karena darah. Semua amarah dan rasa kecewa ia lampiaskan. Raka tidak mau lagi kehilangan orang yang berarti bagi dirinya.

Sentuhan kecil di pundaknya membuat Raka tersentak. Tinjunya terhenti di udara ketika melihat pria berambut perak berkata, "Cukup, Raka. Dia sudah tidak sadarkan diri."

Terengah, pemuda itu berdiri perlahan. Masker gas telah lepas dari wajah pria itu, menunjukkan lebam di sana-sini. Mata Raka bergerak liar, mendapati sosok Indhira yang tengah memeluk dirinya sendiri dengan rasa takut dan air mata yang mengalir. Bolak-balik Raka melihat Indhira dan pria yang Raka hajar itu.

Secara normatif, Raka tahu apa yang ia lakukan itu salah. Namun jauh di lubuk hati terdalam, anehnya, ia merasa puas.

Kei mengikat kaki dan tangan pria yang Raka hajar pada kursi di dalam ruang inap mereka. Tidak mempertanyakan dari mana Raka datang maupun membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan di ruang utama itu, Dee fokus mengobati si pengendara bernama Kres sementara Indhira berkali-kali menyalakan pemantik api yang tak kunjung tersulut.

Raka membantu menyalakan pemantiknya. Rokok yang telah terselip di bibir Indhi langsung ia dekatkan. Sekalinya tersulut, perempuan itu menghisap rokoknya lama dan menghembuskan asap setelah tubuhnya tak lagi gemetar gelisah. Mulut Indhira terkunci, kecemasan masih terlukis jelas di wajahnya.

Menarik lengan Raka, Indhi tanpa berkata-kata meminta pemuda itu untuk mendekat. Indhi menenggelamkan wajahnya di bahu Raka dengan tubuh gemetar. Perlahan, Raka menepuk punggungnya, menenangkan perempuan itu. Yang terjadi beberapa menit di belakang merupakan pengalaman yang mengerikan. Suara berdesing, jeritan, pukulan menjadi sebuah melodi akhir. Orang-orang saling membunuh, Raka bahkan hampir membunuh seseorang. Kenapa mudah sekali mengambil nyawa seseorang?

Anehnya, Raka tidak menemukan sosok Nova sama sekali; membuatnya bertanya-tanya kenapa pintu yang ia buka membawanya ke sini.

"Apa Nova pernah ke sini?" tanya Raka masih mengelus punggung Indhira.

"Ya," jawab Kei, menarik kursi dan duduk menghadap pria yang tak sadarkan diri, "Dia enggak lama pergi setelah kau datang. Ke timur."

Belum sempat Raka bertanya lebih lanjut, Kres meminta maaf, "Maafkan klinikmu menjadi berantakan begini, Dok," Kres meringis saat Dee membersihkan luka di wajahnya, "Aku ceroboh."

"Ini bukan salahmu, Kres," Dee mengambil perban dari kabinet, memotongnya ke ukuran yang lebih kecil, "Mungkin kau sedang sial saja. Bagaimana bisa kau tertangkap?"

Kres terdiam cukup lama, membuat ruangan diselimuti kesunyian. Membuka mulutnya, Kres menjelaskan, "Setelah aku mengantar Nova dan orang botak itu ke sini, aku pergi ke Haven. Aku tahu kalian melarangku untuk pergi ke sana, tapi aku harus memastikan apakah mereka baik-baik saja. Nyatanya tidak, tempat itu mengerikan."

Down There Is What You Called Floor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang