Alana menggeliat dari kasur milih Mahesa ketika ia menyadari ada sesuatu yang menutupi tubuhnya itu. Perlahan Alana membuka matanya lantas menatap langit-langit kamar yang berwarna abu. Alana mengernyit lantas terbangun dari tidurnya,
"GUE DIMANAAAAAA!!!" Teriak Alana sambil memerhatikan keadaan kamar yang serba abu dan hitam itu.
"MAMA GUE DICULIKKK!!!!"
Alana turun dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Saat akan meraih knop, Alana tersadar dengan tampilannya ketika sebuah kaca besar memantulkan tubuhnya yang mungil itu.
"MAMAAAAA KENAPA GUE PAKE BAJU INI!!! BAJU GUE MANA!!" Teriak Alana lebih histeris dari sebelumnya karena mendapati tubunya tidak memakai lagi seragam sekolah melainkan memakai daster.
Alana yang tadinya berniat meraih knop pintu justru melangkahkan kakinya ke sudut kamar yang gelap itu. Ia duduk sambil memeluk lututnya kemudian tertunduk. Sudah pasti, Alana menangis. Bahunya berguncang, pertanda ia benar-benar sedang menangis.
Sebuah tangan kekar menyentuh pundaknya yang refleks membuat Alaan menghentikan tangisannya dan mendongkak menatap si pelaku yang saat ini tangannya masih menyentuh pundak Alana.
"Mahesaa!" Alana berkata dengan suara parau khas orang sehabis menangis. Dengan brutal Alana memeluk Mahesa yang merasa kebingungan dengan tingkahnya.
"Lo kenapa teriak-teriak?" tanya Mahesa sambil mendorong pelan bahu Alana.
"Gue kira gue diculik, ternyata gue di rumah lo!" ketus Alana sambil mendorong bahu Mahesa.
Mahesa yang terkejut karena perilaku Alana tidak bisa melakukan hal lain selain menarik tangan Alana untuk dijadikan sebagai pegangan, karena jika tidak ia pasti akan terjatuh. Tapi sial, pegangannya terlalu rapuh. Mahesa dan Alana terjatuh dengan Alana yang tepat berada di pelukan Mahesa.
"ADUHHHH!!" Mahesa mengaduh kesakitan sambil memegangi kepalanya yang terbentur paling awal.
"Lo salah sih malah megang ke gue!" ucap Alana yang masih asik berada di pelukan Mahesa.
"Lo nya yang payah! Dasar lemah dasar payah!" ketus Mahesa.
"Semalam lo juga payah, Alana!" ucapan Mahesa membuat kening Alana mengerut.
"Maksud lo?" Alana penasaran dengan perkataan selanjutnya dari Mahesa.
"Lo gak inget sama sekali? Kan semalam kita...." Mahesa sengaja menggantung ucapannya untuk menggoda Alana.
"Apasih Mahesa becandanya gak lucu!" bentak Alana dengan mata yang memerah menahan tangis.
"Gue gak bohong! Seriusan. Kalau gue bohong mana mungkin baju itu bisa nempel di badan lo kalau bukan gue yang pakein." Mahesa masih menatap langit langit kamarnya, sedangkan Alana menatap bingung wajah Mahesa.
"Jadi g...gu...gue gak perawan lagi dong" Alana bangkit dari tidurnya kemudian duduk sambil menangkup wajahnya dengan tangan.
"HAHAHAHA ALANA LO ITU LUCUU!" Mahesa tertawa dengan kerasnya membuat Alana sontak mengentikan tangisnya dan memukul kepala Mahesa dengan keras.
"Bangsat lo ngerjain gue!" ketus Alana sambil berlalu meninggalkan Mahesa yang masih mengaduh kesakitan.
"Kenapa lo gak anter gue balik?" ucap Alana sambil berkeliling melihat-lihat seisi kamar Mahesa.
Mahesa ini tipikal laki-laki yang menyukai warna monokrom, lebih terkesan gelap yang menandakan ia sosok yang misterius. Kamar Mahesa memang tidak terlalu besar atau lebih tepatnya besar tetapi terasa sempit karena berbagai macam koleksi bukunya.
"Lo ngoleksi buku ini dari kapan?"
"Mmmmm.... Mungkin sekitar kelas 1 SD gue udah punya beberapa koleksi buku." ucap Mahesa sambil mengekor di belakang Alana.
"WOW!" Alana berdecak kagum sambil terus memerhatikan seisi kamar.
"OH IYA! SIAPA YANG GANTIIIN BAJU GUE!" Alana ini, memang tidak pernah bisa bertanya dengan baik-baik.
"Pembantu gue, sekarang dia udah pulang." ucap Mahesa datar.
Hal itu membuat Alana mengusap dadanya dengan lega.
Mahesa berjalan ke arah pintu kemudian memutar knopnya, Alana yang kebingungan harus apa akhirnya mengikuti Mahesa dari belakang. Saat menginjakkan kaki di luar kamar Mahesa, Alana begitu terkejut dengan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini.
Bagaimana tidak, rumah super mewah dengan cat berwarna putih dan furniturnya yang serba putih, dengan lampu yang super besar. Jujur saja, Alana merasa dirinya sangat miskin kali ini.
"Lo norak!" gertak Mahesa membuat Alana berhenti memerhatikan seisi rumah dan memutuskan kembali mengikuti Mahesa.
Mahesa terus menuruni anak tangga kemudian berbelok dan melewati sebuah lorong yang dibuat sedemikian rupa dengan sekat atau pembatas menggunakan rak buku. Sepertinya, semua orang yang berada di rumah ini memiliki kemampuan literasi yang tinggi.
Literasi bisa dikatakan sebagai kemampuan karena tidak semua orang bisa dan mampu untuk membaca banyak buku, lebih tepatnya membaca dan mengamalkan apa yang terkandung dalam sebuah buku.
Kadang dizaman sekarang ini banyak anak muda yang gemar membaca buku hanya untuk dipamerkan kepada teman sebaya mereka, bahwa ia bisa meluangkan sedikit waktu untuk sekedar membaca buku. Padahal, apabila kita sudah benar-benar mencintai buku, sebanyak apapun kita membaca, semenarik apapun literasi yang kita dapatkan, kita justru akan memilih diam dan lebih mengamalkannya saja daripada dipamerkan.
Alana dan Mahesa kini menghentikan langkah mereka berdua dan berada di sebuah dapur yang luasnya bahkan seluas rumah Alana yang sederhana. Alana tidak berhenti berdecak kagum memerahatikan setiap detail yang begitu apik dah 'wow' ketika memandangnya.
"Gila, Hesa! Lo bisa punya rumah segede ini gila!" seru Alana yang dibalas dengan pelototan oleh Mahesa.
Mahesa mengeluarkan sayuran yang terdiri dari wortel, brokoli, kol dan mengambil daging ayam yang ada di freezer kulkas. Setelah itu, dengan cekatan Mahesa memotong sayuran dengan ukuran yang bisa dibilang hampir sama.
Alana kembali berdecak kagum, bukan karena dapurnya yang terkesan mewah tetapi karena ternyata Mahesa ini jago memasak. Laki-laki sedingin dan sesibuk dia, bisa masak? Kalau seluruh sekolah tahu, Alana berani bersumpah akan terjadi kegemparan di sekolahnya. Beruntung sekali ia bisa berada di rumah Mahesa yang besar sekaligus dibuatkan makanan oleh siempunya rumah.
"Lo sejak kapan bisa masak?" tanya Alana yang saat ini sudah berdiri disamping Mahesa yang masih sibuk memotong ayam menjadi bentuk dadu berukuran kecil.
"Sejak dulu." jawabnya singkat.
"Loh? Emangnya ibu lo kemana?" tanya Alana dengan polosnya membuat Mahesa menatapnya dengan tajam.
"Orang tua gue sibuk sama pekerjaannya."
Mahesa memasukkan potongan daging ayam kedalam panci yang sudah berisi air mendidih sambil mengaduknya sebentar. Kemudian setelah itu, ia duduk di meja makan berhadapan dengan Alana.
"Jadi, lo kesepian?" tanya Alana, lagi.
"Bawel banget lo jadi cewek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ADOLESENS [TELAH TERBIT]
JugendliteraturMasa remaja Alana teramat menyakitkan ketika ia dihadapkan pada kondisi dimana orang tuanya meninggal dunia karena serangan bom di bandara. Ditambah penyesalan yang mendalam karena tidak memilih Mahesa, ketua OSIS yang mencintainya dengan tulus seba...