[Script 06]

911 207 20
                                    

Petang menjelang, kota masih dirundung murung. Intensitasnya tidak terlalu tinggi, tapi hujan tak henti-hentinya menyapa bumi, kadang kala di sertai gemuruh guntur.

Hari ini adalah tepat hari keempat belas dimana aku tidak lagi bertemu dengan Min Yoongi atau mungkin belum. Pemuda itu menghilang tanpa jejak, bagai basah di Desember yang bertemu sapa dengan Matahari.

Aku mengeratkan mantel yang membungkus tubuh. Ku perhatikan jam segitiga yang menggantung di dinding lamat-lamat. Tatapanku menerawang, tidak ada yang benar-benar tengah ku perhatikan. Pun mataku memang tertuju pada jam yang tergantung di dinding, tapi pikiranku berkelana liar entah kemana.

Petang tenggelam perlahan dengan pasti, para pekerja dan murid-murid sanggar silih berganti mulai menghilang, pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Di sekitarku terasa semakin hening, hanya detak jarum jam dan rinai hujan yang terdengar.

Entah hanya perasaanku saja atau memang hari ini bumi berotasi lebih lambat dari biasanya, kulihat jam berdetik sangat perlahan, sampai-sampai darinya aku menyadari jam tidak dapat berputar ke kiri seperti masa lalu yang tidak mungkin kembali.

Aku berandai-andai, kalau saja hari itu aku tidak memberikan selembaran kertas iklan pementasan seni kepada Min Yoongi, apakah hari ini aku masih dapat bertemu dengannya. Aku berandai-andai, kalau saja minggu lalu aku mengingat jadwal pementasan seni Min Yoongi mungkin aku akan tahu bagaimana kabarnya hari ini.

Aku menelan air liurku yang terasa membeku di dalam mulut dengan susah payah. Terlalu banyak hal yang kupikirkan, sampai-sampai aku tidak menyadari kalau di luar sana hujan turun semakin derasnya. Seakan-akan mendeklarasikan bagaimana perasaan khawatir dan kecewaku hari ini.

Tidak ada waktu lagi, langit kota sudah mulai menggelap, membentang dari ujung ke ujung. Ku jangkau payung yang berada di tempat penyimpanan, menerjang hujan adalah pilihan terakhir. Aku tidak ingin berdiam diri lebih lama lagi.

***

Aku ingin berteriak. Tidak, bukan hanya itu saja, aku juga ingin berlari menerjangnya. Pemuda itu, Min Yoongi, berada di halte, seorang diri dengan hoody hitam yang tudungnya menutupi kepala.

Aku berderap cepat menghampirinya, memecah genangan-genangan air yang percikannya mengenai sebagian belakang celana yang kukenakan.

"Min Yoongi," kataku susah payah.

Pemuda itu mengangkat wajahnya, meloloskan tudung yang menutupi kepalanya ke belakang punggung.

Min Yoongi tampak terkejut, mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, "Senang bertemu denganmu lagi," katanya terburu-buru.

Dengan gerakan cepat aku mengambil tempat duduk di sisinya, "Kau sibuk sekali."

"Aku gagal," katanya lirih.

Untuk beberapa saat aku terdiam. Menimang kiranya kata-kata apa yang harus kukatakan. Untuk orang-orang yang tengah kecewa, beberapa frasa terdengar sangat sensitif. Aku tidak ingin terlihat seperti hanya iba kepadanya, padahal faktanya aku sangat peduli kepadanya. Ku pandangi ujung sepatuku yang warnanya mulai pudar, lalu dengan gerakan hati-hati ku adu ujung sepatuku dengan ujung sepatu hitam Min Yoongi.

"Tidak apa. Kau sudah berjuang sangat keras."

Min Yoongi mengangguk-anggukan kepalanya samar. Betapa pun kegagalan tengah melandanya tapi aku bisa melihat perasaan menggebu-gebu di dalam dirinya. Min Yoongi tidak semudah itu untuk tunduk terhadap takdir.

Min Yoongi, He is wall of his own home... Darinya aku menyadari, bahwa di atas dua kaki ini aku menggenggam kedamaian.•

MANUSCRIPT OF STRINGS • MYGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang