Part II

6 2 0
                                    

Harum Vanilla sangat menyengat menusuk indra penciumanku, beberapa saat kepalaku terasa berputar namun perlahan aku dapat membuka kelopak mataku. Yang pertama kujumpai adalah sosok lelaki yang sedang menatapku lembut, telapak tangannya menempel di pergelangan tanganku.

"Siapa kamu?!" Dengan sigap tanganku memeluk kedua kakiku sendiri menjauh dari sosok itu setelah menyadari dia bukan Jim. Aku dapat langsung mengetahui sejak membuka mata tadi bahwa aku sedang berada di kamar milikku. Dia masih menatapku lembut ditambah senyumannya yang menawan. Aku bertemu lagi dengannya..

"Bukannya kita sudah pernah bertemu?" Ia berdiri membenarkan kemejanya yang berkerut. Lelaki itu, yang menggoreskan luka di lenganku tanpa rasa bersalahnya, lelaki misterius yang kuyakini mengintaiku di sekitar kampus Jim.

Aku tersenyum getir, berusaha tak menampakkan ketakutanku, "lalu? Memangnya kita berkenalan waktu itu?" Deretan gigi atas dan bawah milikku bergetuk keras menahan takut yang sangat kuat hingga inginmenangis rasanya, "Kenapa kamu ganggu aku?"

Alis tebalnya terangkat sebelah, "Aku? Ganggu kamu?" Belum sempat aku menjawab lagi ucapannya, terdengar suara ketukan sepatu yang menaiki anak tangga. Pria ini menatap tajam kearah pintu kamar namun wajahnya masih terlihat tenang.

"Hei!" Aku meloncat dari ranjang mengejar sosoknya yang berlari menuju jendela lalu terjun keluar. Oh tuhan, dia terjun dari lantai dua! Seperti sudah terlatih ia meraih pipa-pipa yang tertempel didinding untuk pegangannya menuruni tembok.

"JIM!!" Teriakku histeris seperti habis melihat penampakan.

Jim berlari mendekatiku, "ada apa?!"

Aku tak bisa menjawab karena masih gemetar, fikiranku dilanda kekacauan. Jim melongok keluar jendela dan mendapati semuanya baik-baik saja, tidak ada siapapun, "Ada maling?"

Aku menggeleng berusaha mengatur nafas agar stabil. Harum vanilla milik pria tadi masih menyengat di hidungku. Aku masih ingin melepasnya dari Jim, untuk tidak diketahuinya dulu.

***

Mataku masih terang menatap layar LED dihadapanku di perapian tengah malam seperti ini. Bayangan-bayangan mengerikan menghantui fikiranku hingga tak sanggup untuk memejamkan mata semenit saja. Aku memutar film action agar tetap terjaga, tidak ingin diganggu walau dalam mimpi. Tidak, aku tidak ingin lagi. Ayah dan Jim mungkin sudah terlelap, apa ada kemungkinan pria itu datang lagi disaat sepi seperti ini?

"Jes?" Suara berat berasal dari ruang tengah menggema ditelingaku, "ngapain masih nonton jam segini?"

"Ayah~" jantungku yang sudah mulai berdetak tak beraturan kembali normal saat yang datang adalah Ayahku.

Ia menghampiriku dan menyalakan lampu menyinari seluruh ruangan lalu duduk di sampingku, "bukannya kamu takut gelap? Kenapa lampunya dimatikan?" Apa yang dikatakan ayah benar, aku tidak akan bertahan lama diruangan gelap yang minim pencahayaan. Tapi layar tv di hadapanku membantuku untuk berusaha berdiam di sana. Sinar dari benda persegi itu lumayan banyak. Alasan? Mengapa aku mematikan lampu?

"Sudah lima tahun ya..." Ujarku tak sedikitpun berpindah pandangan dari televisi.

"Apanya?"

"Mom, sudah lima tahun aku tidak menerima pelukannya."

Alasannya adalah ketakutanku. Sekarang usiaku sudah tujuh belas tahun, di usia seperti ini aku harusnya sudah menangani masalahku sendiri. Melawan rasa takut, menyingkirkan rasa lemah, dan berusaha menjadi kuat. Ayahku tidak merespon, jadi aku tak tahu sekarang dia menjadi sedih atau tidak.

"Mau mama baru?" Tawarnya seperti menawarkan 'mau baju baru' pada anak kecil. Tentu saja aku menggeleng, dan bukan jawaban itu yang aku inginkan dari Ayah, selama ini ia selalu menyembunyikan kesakitannya sendiri setelah ditinggal Ibuku tanpa membiarkan kami tahu bahwa ia juga sangat kehilangan. Ayahku bukan pria yang maniak wanita dan bisa gonta-ganti semaunya, ia bahkan menikahi Ibuku yang merupakan cinta pertamanya. Maka itu aku percaya ketulusan cinta Ayahku.

Future AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang