30%

0 1 0
                                    

.

Yosy menatap dalam ke arah mataku. Rasanya begitu tertusuk sekaligus hangat menjalari tubuhku ketika pandangan kami bertemu.

"Gue gak mau sama orang yang gak sejalan sama gue, bun. Dan dengan elo disisi gue, gue berasa utuh karena gue punya partner yang sejalan dengan gue.

Lo tau sendiri 'kan kalo gue jalan sama Lusie itu targetnya kemana? Paling gak mall atau gak ke restaurant buat dinner.

Tapi gue baru bisa ngerasain bebas dan bahagia kalo gue jalan sama lo. Kayak gini contohnya. Coba lo bayangin kalo Lusie gue ajak ke tempat beginian? Jadi yaudah, gue paling seneng kalo jalan sama lo, bun."

Aku menatap dalam ke manik pekat Yosy. Sebuah pernyataan baru yang baru kusadari dari sudut pandangnya.

Rasanya ribuan kupu-kupu berterbangan di dalam perutku. Ada rasa haru mendengar perkataan Yosy.

Ditambah saat ini ia tengah tersenyum lembut kearahku dan bermain-main kecil dengan untaian anak rambut di pelipisku.

Suasana hening pun luntur ketika seorang ibu-ibu berjilbab mendatangi meja kami sambil membawa 2 piring besar.

Kami pun tersadar dari kejadian sebelumnya dan saling mengalihkan pandangan dengan atmosfer canggung di sekitar kami.

"Ehm, makan yuk, Yos?" tawarku yang terdengar bodoh dan aku menyesali telah berkata seperti itu.

"Yuk," jawab Yosy diluar dugaanku dan ia langsung memakan sebuah sate cumi-cumi ditangannya.

Akupun hanya dapat mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Yosy saat ini. Sama-sama memakan makanan kami.

Kami makan dalam suasana diam. Dan suara hiruk pikuk orang-orang yang jual-beli di pasar malam ini adalah peramai perantara diantara diamnya kami.

Hingga suara dering ponsel Yosy menjadi sebuah penyelamat dari suasana canggung sebelumnya.

Karena penasaran, aku pun akhirnya mengalihkan pandanganku dari piring besar didepanku ke arah Yosy yang tengah asyik bertelpon.

"Hallo?"

"..."

"Oh, harus sekarang, ya?" ucapnya dengan raut wajah tertekuk.

"..."

"Yaudah deh, mam. Bentar lagi aku nyampe. Bye,"

Dan Yosy pun memutuskan panggilan tersebut. Ia melirik kearahku sebentar yang kuhadiahi tatapan 'telepon dari siapa?'.

Seakan mengerti, ia langsung menjawab pertanyaan yang belum sempat aku utarakan.

"Mama suruh gue cabut sekarang. Dirumah ada Rani sama orang tuanya. Mama jadi gak enak kalo mereka datang tanpa gue dirumah,"

Aku hanya ber'oh' ria. Dan tanpa babibu, aku langsung menegak habis air dalam botol minumanku dan mengalungkan tas ranselku di pundak.

Yosy menatap kearahku dengan perasaan bersalah. Melihatku tidak menghabiskan makanan yang masih tersisa banyak dan hanya mengangguk mengetahui aku telah siap untuk kembali pulang.

"Sorry ya, bun. Untuk kali ini aja. Janji besok-besok gue bakal full time jalan sama lo," ucap Yosy dengan perasaan kecewa dan bersalah yang terpancar jelas dari kedua manik gelapnya.

"Gapapa, Yos. Gue udah seneng kok hari ini. Dan tindakan lo emang bener. Ini demi mama lo dan keakraban koleganya. Lo harus bisa atasi hal ini. Okey?"

Senyum mulai terpancar di sudut bibir merahnya. Ia menganggukkan kepalanya seraya mengulurkan tangannya.

Aku pun balas tersenyum kearah Yosy dan menerima uluran tangan tersebut.

Kami berjalan ke arah foodcourt tersebut untuk membayar makanan kami dengan masih bergenggaman tangan.

Beranjak ke tempat dimana motor Yosy terparkir dan segera pergi meninggalkan area pasar malam tersebut. Sangat disayangkan.

Perjalanan ke rumahku terasa begitu lama dengan suasana hening yang menyelimuti kami.

Hanya suara deru sepeda dan klakson kendaraan lain yang berebutan mencari jalan ditengah padatnya lalu lintas senja ini.

Hingga tak terasa, kamipun sampai di tempat tujuan. Aku melepaskan helm yang melingkar dikepalaku, memberikannya dan menatap sejenak kearah Yosy.

"Makasih buat hari ini, Bi. Gue seneng walaupun durasi waktunya kurang lama,"

Yosy meringis mendengar ucapanku yang kubalas dengan cengiran kecilku.

Dan tanpa kusadari, Yosy dengan langkah cepatnya membawaku kedalam dekapannya.

Aku hanya terheran-heran sekaligus terkejut dengan sikap Yosy yang saat ini. Dan tak kupungkiri, aku juga membalas pelukannya.

Hangat langsung menjalari seluruh tubuhku. Jantungku berdetak tidak normal dan pipiku terasa sangat panas. Aku kenapa, ya?

"Aku beruntung memilikimu, bun. Aku sangat bersyukur,"

Ucap Yosy pelan dengan suara dalamnya tepat di telingaku, tak urung membuat bulu kudukku seketika berdiri.

Ia semakin mempererat pelukannya dan sesekali terasa basah di keningku. Apa Yosy menciumku?

Jantungku semakin berdetak tak waras dan suhu di sekitar kami terasa panas seketika. Aku yang menyadari terjadi keanehan ini, segera melepaskan pelukan kami dan aku sedikit menjauh darinya. Sedikit memotong jarak antara kami.

"Bye, see you next time," ucapku sebelum aku benar-benar masuk ke dalam gerbang rumahku.

Setelah satpam menutup gerbang dan sosok Yosy tidak terlihat lagi, tubuhku langsung limbung seketika.

"Loh, neng! Neng gapapa, toh?" sembur pak Sigit, satpam rumah yang melihatku berlutut membelakangi gerbang yang telah ditutup rapat.

Aku menghiraukan sejenak pertanyaan pak Sigit dan lebih memilih menenangkan jantungku yang menggila dan kakiku yang terasa bergetar hebat.

Kusentuh pipiku yang masih terasa panas dan kuyakin pasti Stebi sudah melihatnya tadi. Aku berulang kali menghembuskan nafasku dengan volume besar dan berusaha untuk berdiri.

"E,eh? Gapapa kok pak. Saya ke dalam dulu ya, pak?"

Pak Sigit hanya menganggukkan kapalanya dan aku menolak untuk dibantu berdiri dan memasuki pelataran teras rumah.

Ya Tuhan, perasaan apa ini?

200%Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang