10 .

12.5K 912 23
                                    

Happy reading!! Typo tetep bertebaran...

***

Tidak ada judul part karena bingung mau kasih judul apa. sorry...

***

"Jadi itu beneran bapaknya si ganteng?"tanya Ayu sambil mengunyah keripik kentang, malas-malasan memperhatikanku dan Dimas yang lebih memilih tanding ular tangga.

"Yu, gak bosan apa nanya itu mulu dari siang sampe habis isha gini?"balasku asal, lebih memilih konsentrasi dengan putaran dadu.

"Bapaknya seganteng itu kok kamu tolak sih Maura? Kalo jadi kamu, aku gak bakal mikir dua kali buat nerima cowok ganteng stok terakhir kek dia."

Dimas menoyor jidat Ayu hingga mengaduh. "Lha trus aku cowok apa kalo bapaknya Raka cowok ganteng stok terakhir?"

"Kamu mah cowok ganteng juga kok Dim, cuma perlu banyak refisi aja..refisi dimana-mana.."

Sontak jawaban Ayu membuatku terpingkal dan mereka berdua saling melempar bantal sofa. "Udah deh, daripada kalian berdua ribut terus gak pernah akur, kalian pulang aja. Gak dicariin ibu kos apa?"

Ayu dan Dimas adalah anak perantauan. Sejak lulus kuliah, ia lebih memilih langsung bekerja daripada kembali ke daerah masing-masing. Alasannya simple, karena di daerahnya tidak ada bioskop.

"Eh, tapi Raka apa kabar ya? Itu bocah gak papa kan pas kita tinggal?" alih-alih menjawab, ayu malah balik bertanya.

"Kesannya kek kita tinggal di rumah hantu aja, kan kita tinggal di rumah bapaknya. Lagian nih ya, bau-baunya cewek seksi di teras rumah si bocah itu pacar bapaknya deh. Seksi gila, coy. Gak rugi Bandar dah kalau model-model begitu jadi ibu tiri."

Mendesah lelah. Entah kenapa melihat raut wajah Raka yang tidak ingin aku meninggalkannya membuatku terusik. Ada rasa takut dan merasa tidak aman di lensa polos Raka saat melihat wanita berpakaian seksi duduk di teras rumah Raka, seolah-olah meminta tolong padaku. Tapi apa hak ku? Aku bukan siapa-siapanya hingga datang sebagai pahlawan kan?

Setelah adegan Arshaka muncul tiba-tiba disampingku seperti siluman, ia meminta Raka agar pulang bersamanya. Tak ada nada membentak, tak ada kekerasan atau adu argument pada puteranya, atau padaku yang membuli puteranya. Berharap banyak si bocah tidak menceritakan adegan jatuh dari sepeda. Namun Raka tidak serta merta nurut diajak pulang, ia malah meminta diantar pulang dengan naik sepedaku. Bukan apa-apa, sepedaku tidak ada tempat untuk boncengan. Bagaimana caranya? Hasilnya, Aku-Dimas-Ayu mengantar Raka dan bapaknya dengan acara tuntun-tuntunan sepeda. Beruntung jarak rumah sudah dekat, jadi ia tidak perlu memperingatkan jantungnya yang terlalu banyak diforsir.

"Maura! Maura!"

Mataku mengerjab, tak menyadari Dimas beberapa kali memanggilku karena aku melamun.

"Melamunin bapaknya si ganteng ya?"goda Ayu, mengedip-kedipkan bulu matanya ganjen. Tak ingin mengelak, aku mengangguk.

"Sumpah demi apaan kok bisa ngelamunin bapaknya sibocah?"dadu yang harusnya kulempar kini entah kemana lantaran Dimas sudah menendangnya. Aku hanya bisa menarik nafas jengah. Ya gini ini kalau punya sahabat bar-bar macam mereka.

"Pantes aja waktu bapaknya Raka muncul tiba-tiba kek super sayya tiga kamu diam aja gak berkutik, diem mulu sampai kita nganterin Raka sampe rumahnya. Ada benih-benih cinta toh rupanya..."

Bhug!!

Kulempar bantal sofa tepat di kepala Ayu, tak peduli dia mengaduh kesakitan. "Sembarangan... awal-awal emang aku kira aku jatuh cinta. Tapi ternyata gak.."

"Lha trus?"

"Emang sih kalau deket-deket bapaknya Raka bawaannya keringetan, deg-deg gimana gitu, kepala pusing juga, trus bingung mau ngapain. Awal-awal emang aku pikir jatuh cinta, tapi ternyata aku kebelet ngeseng..."

I'll Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang