15 . Again...

11K 918 7
                                    


Semalam bunyi gedoran pintu pagar dari bapaknya Raka, sekarang bunyi telepon. Tiga panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal. Paling-paling dari Dimas ataupun Ayu yang mengusikku seperti biasa. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang dan damai di kediamanku sendiri?

Kedua tanganku meraih bantal dan memillih menutup seluruh wajahku, berharap agar gangguan ini hanya mimpi dan bisa lanjut tidur kembali. Tapi bunyi telepon yang masih semangat mencoba tersambung denganku membuatku menyerah. Mau tidak mau menuntunku untuk segera menjawab. Akan kucaci maki siapapun yang berniat untuk mengerjainya. Apa sipenelpon tidak sadar jam berapa sekarang? Ini sudah pukul sebelas malam. Waktunya orang istirahat coy!

"Hallo!"teriakku kesal, diseberang tak kunjung menjawab. "Halloo!!" sama, masih tak kunjung ada jawaban. Hanya terdengar samar suara deru nafas yang memberat. Kulihat layar ponsel sekali lagi, mencoba mengenali siapa pemilik nomor yang menghubunginya. Nihil, aku sungguh tidak tau. "Kalo masih gak jawab aku tutup nih! Oi!"

"Mamaa.."

Mataku memicing, "Ha-halo? Ini.. Raka?" mencoba memastikan pendengaranku seklai lagi.

"Maa..."jawabnya lirih diikuti dengan deru nafas yang memburu. Layaknya orang berlari dan bersembunyi. "Maa..."panggilnya lagi.

Jemariku bergetar panic. Sekelebat bayangan masa kecilku diikat di pohon manga yang banyak dengan hewan serangga berkelebat di kepalaku layaknya kaset rusak. Takut bayangan itu terulang pada Raka. Ia tau ayah Raka tak mungkin melakukan hal sekeji itu, jadi aku bisa sedikit tenang. Namun hati tenangku seketika menghilang sekejab.

"Mamaa... hiks hiks.. hooeek..hooek"Raka meringis kesakitan dengan suara tangis lirihnya, belum lagi suara muntahan membuatku semakin cemas. "Mamaaa... Raka haauus.. lampu kamar mati ma..mamaa..."

Tangisku ikut jatuh. Suara isak tangis lirihnya membuat hatiku hancur. Tubuhku lemas, nafasku mulai tak teratur karena sesak. Beruntung posisiku sekarang duduk diujung kasur, tak bisa dibayangkan bila aku berdiri sekarang, mungkin aku sudah jatuh terduduk. Membayangkan Raka dengan isak tangisnya, dikurung di ruangan gelap dan rasa haus ataupun lapar membuatnya semakin cemas.

"Raka di kamar?" tanyaku disela kesadaranku, berusaha semampuku untuk berfikir waras.

"Iya..."balasnya diujung telepon.

"Raka coba telepon papa, papa ada di rumah kan? Telepon orang rumah aja kalau Raka gak bisa buka pintu kamarnya. Raka jangan takut ya, Raka jangan nangis, Raka-," ucapanku terpotong karena diujung sana kudengar Raka memuntahkan isi perutnya. Pikiranku kalut, kecemasanku bertambah saat panggilan sudah terputus.

Tak kupedulikan jam digital di layar ponsel menunjukkan pukul sebelas malam, tanganku meraih jaket jins lusuh. Kukenakan asal-asalan, lalu meraih kunci motor. Pikiranku hanya satu. Memastikan Raka baik-baik saja.

***

Bang Udin, salah satu satpam di rumah Raka yang membuka pintu pagar tergopoh-gopo begitu tau aku beberapa kali menggedor pintu.

"Ada apa to mbak kok malam-malam kesini?"tanyanya cemas begitu melihatku yang berantakan yang terlihat panic. Hanya daster lusuh ditutupi dengan jaket jins serta sandal jepit.

"Ayo bang cepetan buka pintunya! Ini masalah hidup dan mati!"

"Walah dalah! Hidup dan mati sopo to mbak?!"Bang Udin semakin panic dan gugub karena aku yang sudah mulai tidak sabar. Begitu pintu pagar terbuka, kunci motor kuserahkan pada Bang Udin, meminta tolong padanya untuk memarkirkan motorku supaya tidak menghalangi kendaraan yang ingin keluar atau masuk rumah.

I'll Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang