11 . Naik jabatan, Mama.

11.7K 1K 44
                                    

Layakkah cerita ini publish?? Gak tau kenapa merasa under estimate dengan cerita dan alur ini. Apalagi dengan respon yang kurang menyenangkan. Berasa sampah.. aku gak tau kalian yang baca juga mengalami hal yang sama kayak aku atau gak.. 

Jadi, masih layakkah cerita ini publish??

  ***  


Happy Reading! Typo tetep beterbangan.

***

Bahkan untuk kebaikan sekalipun, janganlah sekali-kali kau mencoba untuk berbohong. Karena sekali kau mencoba untuk berbohong, kau akan terus berbohong hingga kebohongan pertama terbongkar.

Ungkapan klasik yang biasa hanya kudengar angin lalu kini sangat mempengaruhiku. Kebohongan yang diciptakan Sakha dan kuiyakan dengan sombongnya beberapa hari lalu menjadi boomerang untukku. Kebohongan dimana aku dan Sakha mengatakan bahwa kami berdua menjalin suatu hubungan. Parahnya lagi akan segera menikah, bayangkan! Kalau kalian bertanya mengapa aku juga seperti ikut berkolaborasi, tentu saja akan kujawab untuk menyelamatkan harga diriku. Itu hak paten untuk menghadapi Fira. Walau sampai sekarang aku masih belum mengerti alasan apa Sakha berbohong seperti itu. Untuk membelaku? Oh God, who iam?

Tak ada asap, kalau tak ada api. Ungkapan ini juga sering kudengar sejak aku duduk di sekolah dasar. Biasanya hanya sekedar masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tapi, kenapa ungkapan ini juga menghantamku sedasyat ini, Tuhan.

Aku tidak tau apa yang sudah diadukan Fira pada Ayah hingga pagi-pagi buta di hari Senin Ayah menerorku di telpon hingga 22 panggilan tidak terjawab. Dan tiap paginya aku selalu dikejar-kejar untuk membawa siapapun laki-laki yang diceritakan oleh Fira. Hari pertama dan kedua aku masih tidak perduli, hari ke tiga dan keempat aku mulai mencari alasan yang terdengar logis untuk menolak. Entah sibuk atau ada janji lain dari jauh-jauh hari. Dan hari ke-lima telingaku sudah panas mendengar nyinyiran Fira di timeline line yang ditujukan untukku, atau appaun untuk memojokkanku. Sekali lagi untuk menyelamatkan harga diriku, aku lagi-lagi berbohong. Mengatakan minggu depan aku akan membawa Sakha ke hadapan ayah.

Tindakan impulsive yang detik berikutnya sungguh aku sesali. Hingga beberapa ungkapan makian dan nama-nama kebun binatang keluar dari mulut Naura saat aku curhat padanya via tlp. Kalian masih ingatkan Naura, adikku satu-satunya yang menempuh pendidikan di IPDN Jatinagor itu?

Untuk kali ini, aku tidak bisa mengandalkan Dimas ataupun Ayu. Aku tidak tau apa yang terjadi pada keduanya semenjak kejadian naas di klub malam beberapa hari lalu. Sejak itu, mereka berdua seakan menjauh dariku. Aku tidak tau apa yang coba meraka jauhi atau hindari. Mencoba berpositif thingkin bahwa mereka berdua sibuk dengan kerjaannya. Ayu yang Teller Bank BUMN tentu sibuk, dan Dimas yang menjabat salah satu marketing keramik Norman tentu tak kalah sibuknya. Tapi sekedar membalas chat di gruoup pun mereka enggan. Dipikir Koran apa ya Cuma dibaca aja?

Seakan menghindar adalah sebuah trend, Raka si bocah itupun sama sekali tidak pernah muncul untuk menggangguku lagi. Dalam artian, aku sama sekali tak pernah melihatnya lagi semenjak menjadi tutornya dalam bersepeda. Entah itu anugrah atau bencana. Mungkin dalam kondisi normal aku sangat mensyukurinya, tapi dalam kondisi terdesak seperti ini aku sungguh ingin bertemu dengannya. Meminta bantuan untuk memperlancar misi untuk membujuk ayahnya. Berharap ayahnya bisa dinego.

"Apa pulang kerja aku samperin aja rumahnya ya?"pikirku. "Tau gitu aku kasih nomerku aja pas Raka minta nomerku kemaren."gerutuku lagi. Ini nih akibat terlalu suudzon beranggapan si bocah hanya pengganggu. Kena batunya sendiri kan. Huuft...

"Maura, kamu tolong kamu berangkat sekarang jemput anak saya, ajak makan siang lalu antar dia ke day care!"titah Mbak Meyka seenaknya seperti biasa.

I'll Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang