TIGA CERITA SATU MALAM

37 3 0
                                    

1.

Laki-laki itu masih terdiam. Nampaknya menunggu jawaban. Pesanan sudah datang, secangkir kopi cappuccino. Lelaki itu mengangkat cangkir, kemudian dia dekatkan ke hidung. Lalu dia dekatkan ke bibir dan meminumnya. Kemudian diletakannya lagi. Kembali dia menikmati wajah perempuan di depannya. Namun masih saja kaku. Keduanya nampak ragu untuk memulai pembicaraan.

"Jadi bagaimana?" lelaki itu nekat membuka kata.

Dan hasilnya sama saja. Hanya menimbulkan senyum di sudut bibir perempuan di hadapannya. Suara tetap beku, yang ada hanya isyarat tubuh yang tak mampu diterjemahkan oleh kata. Nampaknya perempuan itu tengah asik dengan dunianya. Berkali-kali dia membolak-balikan lembaran kertas yang dipegangnya.

Laki-laki itu mengaduk kopinya. Lalu meminumnya. Mengaduk lagi. Dan meminumnya lagi. Jarinya mulai mengetuk-ngetuk meja. Wajahnya mulai gelisah. Namun matanya tetap tertuju pada perempuan di hadapannya. Entah perempuan macam apa yang sukses menyiratkan kegelisahan dari kedua mata lelaki itu. Sedangkan perempuan di hadapannya masih saja membaca lembaran kertas yang diberikan oleh lelaki tadi sepuluh menit yang lalu.

"Bagaimana?" lelaki itu mencoba memancing pembicaraan lagi.

Perempuan itu pun menoleh dan hanya tersenyum. Lelaki itu diam kembali. Wajahnya tambah gundah. Ada sesuatu yang mengganjal bibirnya untuk berbicara, atau sekedar untuk berucap satu kata. Tangannya mulai mengambil buku dari tasnya. Lalu mulai menulis kata. Kemudian timbul kalimat-kalimat. Lalu semuanya dicoret. Di sobek dan dibuang. Menulis lagi. Mencoret. Menyobek dan membuang. Dia layangkan tatapannya pada sisa gerimis hujan malam ini. Masih saja sepi. Tak ada perubahan yang berarti. Dingin tetap mencengkram kedua anak manusia di meja dua puluh satu itu.

"Bagus!" perempuan itu melahirkan kata setelah sekian menit terdiam.

"Apanya?" Laki-laki itu tanya keheranan.

Perempuan itu tersenyum sambil mengembalikan lembaran yang dipegang pada lelaki di hadapannya. Aku pun kembali datang mengantar pesanan ke meja itu.

2.

"Mereka sedang kasmaran!" teriakan Karman lagi-lagi membuat pelanggan kami menoleh kepadanya.

"Kedai kita ini memang tidak henti-hentinya mengukir kenangan ya!" ucapku sambil tertawa.

Waiters-ku yang satu ini memang sering sekali mencari tau asal-usul pelanggan di kedai kami. Terkadang dia sering menghampiri pelanggannya sekedar menanyakan alamat rumah. Tentu saja dengan pembawaannya yang kocak sehingga tidak mengganggu pelanggan kami. Bahkan pelanggan kami sering hanyut dalam pembicaraan bersama si Karman. Sampai-sampai ketika Karman tidak masuk kerja, pelangganku pun bertanya-tanya mengenai laki-laki ini.

Belum lama aku mengenal Karman – setidaknya seusia dengan kedai ini berdiri. Aku merasa beruntung bisa bertemu orang yang jujur seperti Karman. Kami dipertemukan karena Karman menemukan dompetku yang tertinggal di kursi Bus. Dengan percaya diri, dia mendatangi alamat yang tertera dalam kartu identitasku. Karena kejujurannya itulah, aku mengajak laki-laki yang belum kutahu asal-usulnya saat itu untuk membuka usaha. Dan sampai saat ini, kami menjadi bukan sekedar mitra kerja, lebih tepatnya keluarga.

Karman yang memang mudah bergaul, akhirnya selalu dekat dengan pelanggan kami. Semua kejadian unik tentang pelanggan kami, selalu dia bahas denganku. Kemudian dari sekian pelanggan yang datang malam ini, hanya pelanggan di meja dua puluh satu yang paling menarik bagi kami.

Perempuan itu masih terdiam dengan lembaran kertas yang dibacanya. Namun laki-laki di depannya nampak gelisah menunggu sesuatu. Bahkan kopi ini menjadi pesanan ketiganya malam ini. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, dua pelanggan setia kami itu nampak tegang membunuh waktu.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang