PEREMPUAN TUA MERAH MENYALA

11 1 0
                                    

Jakarta, Mei 1998

Barangkali belum lama ini kudengar, sayup-sayup dongeng nenek sewaktu kecil. Kotak pikiran memang aneh, dia sangat suka memutar balik ingatan pada waktu yang kurasa tak diperlukan. Barangkali ingatan inilah yang menjadi tumpukan penyesalanku bertambah. Namun nampaknya tumpukan penyesalan yang sudah terlampau tinggi ini sangat sia-sia ketika melihatku sekarang: terkapar dengan tiga pelor yang bersarang di dada. Tubuhku gontai dibopong orang-orang yang berteriak tak jelas. Ada yang meminta ambulan, ada yang meminta menghentikan tembakan, namun ada pula yang ingin melanjutkan kerusuhan. Inilah keadaanku: terjebak dalam MEI SEMBILAN DELAPAN.

Aku sudah berulang kali diingatkan oleh Maryam—kekasihku, bahkan Ibuku masih ragu ketika mengizinkanku berangkat ke Ibu Kota. Namun aku memanglah orang yang pandai menyembunyikan kebohongan. Berbekal izin penelitian dari Ibu: akupun berangkat ke medan pertempuran. Aku harus menuntut kemerdekaan, ucapku pada Maryam. Dibutuhkan jiwa yang merdeka untuk berkarya. Bukan jiwa yang terkurung ketakutan, ucapku kemudian.

Tidak perlu waktu lama, ribuan pejuang kemerdekaan sudah mampu mengepung medan pertempuan. Namun tidak denganku, tidak butuh waktu lama untuk terkapar dengan tiga pelor yang bersarang di dada, begitu menyedihkan. Sekali lagi kotak pikiran memang aneh, dia kerapkali memutar ingatan untuk waktu-waktu yang tak diperlukan. Begitu pula saat ini, ketika lima orang dengan gontai membopong tubuhku, saat desing peluru dan teriakan masih bersahutan, memoriku memutar ingatan dua puluh tahun silam.

Aku terduduk di teras depan waktu nenek menyulam. Tak sedikit cerita yang berkisah tentang kakek, tentang masa-masa ketika di sanggar tari bersama, hingga ketika terjadi tragedi di tahun 60-an —yang diceritakan nenekku. Dia selalu menunjukkan foto masa lalunya dengan kakek. Dari foto itu aku mengenal kakek adalah lelaki yang terbilang mungil untuk ukuran lelaki di zamannya. Tubuhnya terbilang pendek dibandingkan nenek yang berdiri di sebelahnya—di foto. Namun kakek memiliki pinggul yang berisi dan dada yang bisa dibilang sintal untuk ukuran laki-laki. Sedangkan teman yang di sebelahnya ada dua lagi, yang satu duduk di kursi dengan kaki bersila, yang satunya lumayan tinggi namun matanya terpejam—mungkin silau terkena cahaya kamera. Kata nenek di sanggar tarinya dulu mereka dikenal dengan: empat sekawan.

Di tiap ceritanya, nenek selalu dengan bangga mendengungkan di telingaku: kelak, jadilah orang dengan jiwa yang merdeka seperti kakekmu ya Nak. Aku selalu menjadi anak yang taat ketika itu. Daya khayalku serasa berkeliaran, dengan berbagai cerita nenek. Bahkan akupun sempat berpikir tentang kebenaran cerita-cerita nenek. Bagiku semua tampak nyata dengan jelas terekam di kotak ingatanku. Dan dari sekian cerita yang pernah diceritakan, ada satu cerita yang membuatku terkenang hingga sekarang.

***

Rasanya belum lama terlewat. Selepas mentari mampir ngopi di teras kaki gunung Merbabu, ketika suara bising penjual-pembeli mulai bertransaksi, seorang tukang parkir terkesiap: seorang gadis bergincu mengenakan kebaya serba merah mulai menari di depan pasar. Selendang merahnya dikibaskan seirama dengan musik yang ditabuh dua pemusik—kendang dan kentrung— di belakangnya. Sontak warga pasar menoleh kepada sumber irama merdu di area parkiran.

Suara bersahut-sahutan mendengung dengan langkah-langkah yang saling berhimpit berebut tempat paling depan. Mereka penasaran: siapa yang berani mengguncang pasar yang sudah kelewat damai di pelataran.

Tak butuh waktu lama, rombongan orang berdatangan membentuk lingkaran mengelilingi penari dan dua pemusik itu. Sesekali ada yang terheran melihat dua pemusik itu. Yang satu menabuh kendang duduk di sebuah dingklik dengan bola mata yang putih, seputih susu. Ada yang nyeletuk menyebutnya si Buta. Pemain kendang itu memandang ke kanan-kiri dengan kepala yang digerakkan seirama musik. Dia tersenyum dan tertawa, sangat merdeka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang