PAGI DAN SEORANG LELAKI MATI

39 0 0
                                    

Bagaimana mungkin seorang perempuan yang berusaha mati-matian menghapus masa lalunya, melewati titik batas suka dukanya, setelah sebelumnya merobek tenunan kisah kehidupannya lalu membakar benang-benang yang menghubungkan dengan lelaki yang dicintainya, kini justru bersusah payah menenun kembali kisah yang telah lama ingin dihapuskannya dengan berbagai cara dan berbagai usaha, meski raga lelaki yang dicintainya sudah tidak bersemayam di dunia. Bagaimana mungkin perempuan itu rela mengumpulkan butiran-butiran air matanya untuk dirangkai menjadi sebuah deret kenangan yang selalu dia kenangkan setiap malam, setiap matanya tertutup maupun terbuka hingga membentuk untaian kisah di memorinya. Bagaimana mungkin sebuah gelas yang telah jatuh pecah, akan kembali utuh tanpa adanya keretakan di sekujur tubuhnya. Bagaimana mungkin..

Puja masih terduduk di kursi taman. Matanya menatap bayang-bayang embun yang menyelimuti telaga. Mata itu menerawang di balik bayang-bayang yang menyelimuti telaga di depannya. Lalu ia berdiri dan melempar karangan bunga yang dia pegang ke telaga. Agak lama perempuan ini mematung di tepi telaga. Wajahnya masih dingin menangkap sepi. Puja kembali mendudukkan tubuhnya dan menyimpan wajahnya yang pucat terbenam di kesunyian pagi.

Lelaki tua berjas hitam dengan kaki pincang mendatangi Puja. Dia duduk di sebelahnya.

"Tak selamanya kita harus berpasrah pada kehilangan, Nak."

"Apalah arti mempunyai mata yang masih bisa menembus ruang dan waktu untuk mengenang jika raga tak bisa kembali mengulang. Apalah arti cahaya yang menembus masuk ke kornea mata membawa serpihan kisah yang saling menyilang dengan beraturan membentuk kenangan, jika jiwa tak kuasa menahan rasa kehilangan."

"Aku adalah kematian, sepanjang malam aku begitu lelah memilih siapa yang dengan rela memberikan nafasnya untuk kupintal bersama cahaya dan kubawa ke angkasa. Jika rambut putihku bertambah setiap hari maka berkuranglah satu kehidupan. Karena roh manusia yang aku bawa, akan menempel di ubanku.*"

"Pak Tua, mimpiku pecah, aku sudah mati bahkan sebelum Tuhan menciptakan kematian itu sendiri. "

Puja menoleh pada lelaki tua itu. Tiba-tiba hatinya begitu getir melihat wajah lelaki tua itu. Sepasang mata hitam yang begitu kelam. Putih bola matanya sama sekali tak terlihat, bahkan hanya seperti rongga yang begitu dalam dan kelam. Puja sempat terpaku merasakan kesedihan di balik matanya. Hatinya begitu getir. Kenangan itu membayang dari sepasang mata hitamnya. Puja pun beranjak meninggalkan lelaki tua itu.

Malam mendekam, kerdip cahaya bulan menemani Puja dalam kesepian. Seperti malam-malam sebelumnya, Puja selalu gelisah membunuh waktu. Malam selalu memberikan kekuatan magis untuk mengenang. Kenangannya selalu berhambur menerobos jendela, silang-menyilang membentuk perpaduan cahaya yang pucat menerobos kornea matanya. Ketika dia sadar, dia sudah terduduk di dekat jendela dengan seonggok luka di dada. Sedangkan bulan semakin pucat seolah menanti kisah yang dia rajut dalam untaian kata yang selalu dia tuliskan di secarik kertas. Lantas setelahnya kertas itu dibakar. Lalu menulis lagi dan dibakar lagi. Menulis lagi, dibakar lagi. Seperti itulah Puja melakukan ritual untuk menghabiskan malam.

Malam ini Puja melakukan prosesi mengenang seperti malam-malam sebelumnya. Kertas itu kembali terbakar dalam bingkai kesedihan, abunya selalu dia simpan pada botol yang di letakkannya di samping jendela. Ketika pagi tiba, dia selalu berharap abu-abu itu sudah hilang menjelma kunang-kunang yang saling dorong hingga botol itu terjatuh dan pecah. Lalu kunang-kunang itu akan berhambur, membuka celah di jendelanya lalu pergi menyampaikan dukanya kepada lelaki yang dicintainya. Namun setiap pagi tiba, abu-abu itu tetap utuh membentuk bayangan kelabu tentang masa lalunya.

Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Puja sudah mantap menunggu kematiannya. Memorinya berkelebat tentang lelaki tua pagi tadi:

"Bagaimana jika pada suatu malam dalam diam yang selalu mengendap, aku mendatangimu dan meminta satu persatu nafasmu."

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang