Part 20

1K 33 2
                                    

***

Wilham, Wafiya, dan Risca duduk di kursi tunggu ruang UGD.

"Lebih baik lu ke toilet bersihin darah di tangan lu itu," ujar Wafiya kepada Risca yang sedang menundukkan kepala.

Namun Risca sama sekali tidak merespond. Ia terus menunduk menatap kedua tangannya.

"Risca, lu denger-"

"Tolong anterin gue ke kantor polisi," potong Risca.

"Buat apa?" tanya Wafiya tidak mengerti.

"Papa begini karena gue," jawab Risca.

"Jadi lu yang membunuh Pak Dodo?! Astagfirullah! Gue engga habis pikir! Salah apa sih dia ke lu? Lu bener anak engga tau diuntung!" bentak Wilham geram.

Risca mendongakkan kepalanya.

"Kalau lu engga bisa anterin gue ke polisi, gue bisa pergi sendiri." ujar Risca sambil bangkit berdiri.

"Risca, jangan buat drama lagi, mendingan lu berdoa semoga Papa lu engga kenapa - napa di dalem," sahut Wafiya.

Risca tidak mempedulikan kedua anak kembar tersebut, ia berjalan meninggalkan keduanya tanpa pamit.

Namun tiba - tiba langkahnya berhenti bersamaan dengan pintu UGD yang terbuka. Wilham dan Wafiya menghampiri dokter.

"Kondisi pasien kritis, kami masih melakukan penanganan medis," ujar dokter tersebut kemudian pergi.

"Ini semua gara - gara lu. Dasar anak durhaka! Engga tau diuntung!" teriak Wilham.

Risca mengusap air mata di pipinya kemudian berjalan kembali meninggalkan semua orang yang ia kenal di belakangnya. Beberapa bahu sempat menabraknya. Dan memakinya. Namun Risca sama sekali tidak membalas.

BUG.

"Aduh!" rintih seorang gadis yang Risca tabrak.

"Loh? Risca?"

"Naira?"

"Lu kenapa? Tangan lu? Astagfirullah! Darahnya sampe kering gini. Lu bisa infeksi! Cepet ikut gue ke toilet!" Naira menarik Risca ke arah toilet. Risca sama sekali tidak menolak.

"Engga sakit Ris?" tanya Naira.

Risca menggeleng. "Cuma sesak aja," jawab Risca.

"Lu punya asma? Atau ada luka di bagian lain? Cepet kasih tau gue!"

Risca menatap mata Naira dengan berkaca - kaca. Kemudian menunjuk dadanya. "Di sini lukanya, di dalem sini. Sesak banget."

Naira mengerti apa maksud Risca. "Apa yang bisa gue lakuin supaya sesak itu hilang?"

"Bawa gue ke kantor polisi."

"Ngapain?"

Risca menatap kedua tangannya. "Karena tangan ini udah membuat Papa kritis sekarang."

Naira menggeleng. "Jangan buat kebodohan untuk kedua kalinya. Gue tau lu engga sengaja." jelas Naira.

"Sekarang ayo kita ke tempat bokap lu, di UGD kan?" tanya Naira.

Risca mengangguk, Naira menuntun Risca kembali ke UGD. Ketika sampai di depan UGD, Naira melihat Wilham dan Wafiya yang sedang menunduk frustasi.

"Halo semuanya," sapa Naira.

"Ngapain lu bawa anak durhaka ini ke sini? Dia yang udah bikin Pak Dodo kritis!" ujar Wilham.

"Pak Dodo pasti butuh anak gadisnya sekarang," balas Naira.

"Dia engga butuh anak durhaka ini!" ujar Wilham.

"Ham, coba mengerti sedikit aja. Risca peduli sama bokapnya," ujar Naira.

Wilham tertawa mengejek. "Peduli? Kalau dia peduli, dia engga mungkin ngelukain bokapnya sendiri! Lagian emang iblis masih punya hati nurani?"

"Ham, semua bisa berubah secepat kedipan mata. Dan begitu pula Risca!" balas Naira.

Wilham tidak tertarik untuk berdebat. Sekarang yang terpenting adalah kondisi Pak Dodo.

Tiba - tiba dokter keluar lagi dari dalam ruang UGD.

"Keluarga pasien?"

"Di sini Dok!" ujar Naira sambil menunjuk Risca.

Dokter tersebut menghampiri Risca.

Sekaranglah vonisnya, apa ia bisa memperbaiki kesalahannya atau malah ia harus membayar semua perbuatannya.

***

Sahabat Jadi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang