Part 5

1.8K 71 1
                                    

***

Naira POV

"Will you be my ... girlfriend?"

Kalimat tersebut sukses membuat jantung gue berpacu dengan cepat.

Sekarang gue bukan Naira yang dulu, yang bodo amat sama perasaan orang lain.

"Ra,"

"Ya?"

"Answer, please?"

Gue bingung.

Di satu sisi gue masih dibayangi Wildan.

"Kasih gue waktu untuk berpikir, boleh?" tanya gue.

"Engga bisa Ra. Kata lu, kalau hari ini-"

"Baru aja semenit yang lalu lu bilang, lu mau mengubah sikap lu yang selalu mentingin ego lu. Mana buktinya?!" hardik gue kesal.

"Oke gue akan mengubah sikap gue itu, gue janji." kata Arief.

"Maaf gue engga bisa langsung nerima lu sekarang. Gue butuh waktu." kata gue.

"Lu satu - satunya cewek yang pernah ngegantungin gue kayak gini," ujar Arief sambil mengacak rambut gue pelan.

"Kalau lu emang beneran cinta sama gue, lu harus sabar nunggu jawaban dari gue," balas gue.

Arief membalas gue dengan senyum manisnya.

***

Naira POV

Gue membuka pintu kamar gue dengan perlahan. Gue baru aja sampai rumah setelah diantar pulang sama Arief tadi.

Ponsel gue berdering. Gue mengambil ponsel gue, kemudian langsung menekan tombol hijau lalu menempelkannya pada telinga.

"Hello, who is it?" sapa gue.

"Kayaknya lagi happy banget Ra," sapa balik orang itu.

Gue langsung melihat layar ponsel gue. Nama "Wildan" tertera disana.

"Halo, Naira, lu masih hidup kan?" tanya Wildan.

"Eh, iya, halo!" jawab gue.

"Gue ganggu lu ya Ra?" tanya Wildan.

"Engga kok engga. Ada apa lu nelepon gue?"

"Oh ini, gue cuma mau ngajakin lu nyetak tata tertib kelas besok setelah pulang sekolah, lu mau kan?" ujar Wildan.

"Oke, Wil. Gue mau kok."

"Sip Ra! Udah malem, lu tidur gih. Gue tutup teleponnya ya. Have a nice dream."

Gue menurunkan ponsel gue lalu meletakannya di meja belajar.

"Apa besok saatnya gue negasin perasaan gue ke Wildan?" gumam gue sambil menatap langit - langit kamar.

Perasaan dilema ini muncul kembali.

"Ah pusing deh gue!"

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar semenit yang lalu. Gue langsung bergegas membereskan buku - buku gue yang ada di atas meja.

"Mau kemana lu?" tanya Arief.

"Nyetak tata tertib," jawab gue.

"Sama siapa?" tanya Arief lagi.

"Wildan."

"Kalau gue minta lu engga pergi sama Wildan gimana Ra?"

Gue menatap Arief.

"Lu tau kan, gini nih, kalo lu misalkan suka sama cowok, nah terus cowok lu ini jalan sama cewek lain, gimana perasaan lu?" ujar Arief.

"Maksudnya, lu cemburu gitu?" tanya gue langsung to the point.

Gue engga ngerti maksud dia.

"Lu kenapa sih Rief?"

"Engga! Gue engga apa - apa. Lu pergi aja sana ama Wildan," jawab Arief.

Gue bersedekap sambil menghadap Arief. Kayaknya gue udah tau deh, alasan di balik sikap Arief yang aneh ini.

"Lu itu aneh tau engga. Kalau cemburu bilang aja kali!" ujar gue.

"Harusnya lu bisa nangkep maksud omongan gue dong," balas Arief.

"Lah tadi kan gue udah nebak, kalo lu itu cemburu!" sahut gue.

Ya ampun, gue engga ngerti deh sama sikap Arief. Kenapa dia engga mau bilang aja sih, "Gue cemburu". Kan beres kalau gitu.

"Yaudah kalau lu engga mau ngomong sama gue. Tapi gue harus pergi sekarang."

Arief masih diam.

"Naira!" panggil sebuah suara dari depan kelas. Gue menoleh ke asal suara.

"Hai, Wil!" balas gue sambil membalas senyum Wildan dengan senyum tipis.

"Udah selesai Ra? Kalau udah kita berangkat sekarang yuk, biar pulangnya engga kemaleman!" ajak Wildan.

"Lu duluan aja Wil ke parkiran nanti gue nyusul. Gue mau ngomong sama Arief bentar."

Wildan tampak mengangguk - angguk. Kemudian berjalan pergi meninggalkan gue dan Arief.

"Lu mau pulang?" tanya gue ke Arief.

"Hm," jawab Arief.

"LU ITU KENAPA SIH RIEF?!" bentak gue.

Arief menatap gue.

"Lu tuh! Ya ampun! Gue engga ngerti sama sikap lu deh!" teriak gue dengan nada tinggi.

Sumpah demi apapun, Arief itu seribu kali lipat lebih nyebelin sekarang dari pada waktu dia nyolot - nyolotan sama gue dulu!

"Bukannya wajar, gue bersikap gini. Lu masih ngegantungin gue. Gue itu butuh kepastian Ra." balas Arief.

Ringtone ponsel gue berbunyi. Wildan nelpon gue. Gue engga mengangkat panggilan tersebut.

"Ternyata lu engga ngerti - ngerti juga ya." ujar Arief.

Gue menghembuskan napas dengan berat.

"Gue butuh waktu." ujar gue kemudian berjalan keluar kelas meninggalkan Arief sendirian di dalam kelas.

***

Sahabat Jadi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang