"Makan yang banyak, Deas. Kamu kelihatan kurusan sekarang," ucap Bu Dian, Mama Celoisa. Deas cuma mengangguk sambil mengambil sepotong semur ayam di depannya. Dalam pikirannya, Deas mengamini ucapan Mama kalau dia kurusan. Yah, gimana tidak kurusan kalau makanannya macam orang diet terus. Padahal, Celoisa yang tidak punya cukup waktu untuk memasak hingga masakan mereka tak jauh dari oat-susu, sandwich telur-selada, atau sayuran rebus dengan bumbu kacang—dan disebutlah dengan pecel. Kadang, makanan orang diet dan orang malas beda tipis.
"Anak itu, harus bedrest. Mama kayaknya bakal seminggu lebih juga di sini. Semoga beratmu naik," canda Mama. Deas tersenyum kecil.
"Iya, Mama memang harus di sini kalau enggak dia pasti bandel. Saya udah minta dia untuk istirahat lebih lama dikit, tapi dia masih mau kerja," curhat Deas.
"Mama udah nasehatin dia. Kamu boleh sentil kupingnya kalau dia nakal.
Deas mengangguk dan melanjutkan makannya. Sedangkan Mama menuju kamar Celoisa sambil membawa sarapan. Atas mandat dokter, ia memang diwajibkan untuk tidak terlalu banyak bergerak, termasuk senam aerobik.
Kalau bisa bertukar, rasanya Deas mau disuruh untuk tidur seharian selama seminggu. Ia begitu mencandu tidur dan merasa Celoisa terlalu petakilan karena menangis saat disuruh untuk cuti seminggu dan bersantai sesantai-santainya.
Sampai di kampus, Deas langsung masuk ke ruang dosen. Februari memang waktunya libur kuliah, tetapi ia tentu saja tetap masuk. Terlebih, beberapa mahasiswanya mengirimkan pesan mengajak berkonsul ria. Deas berpikir, betapa nikmatnya mahasiswa zaman sekarang. Untuk janjian dengan dosen, mereka tinggal SMS, mengirim Whatsapp, atau justru pesan LINE dengan stiker yang mereka anggap menggemaskan tapi bikin Deas geleng-geleng kepala. Deas mungkin sudah masuk ke mahasiswa zaman sekarang meski ia masih mengandalkan telepon atau SMS kala itu. Deas enggak bisa bayangin bagaimana cara janjian antara dosen dan mahasiswa di zaman Profesor Akmar, dosen tertua yang dulu dosen pembimbingnya itu. Apa iya, ada tukang pos antar desa atau kecamatan?
Deas membayangkan, seorang lelaki berbaju serba oranye datang ke rumahnya dan mengambil surat dari kotak surat pada pukul dua siang. Lelaki itu dengan sepeda kumbang menuju rumah dosennya yang jaraknya hampir 5 KM. Menyerahkan surat ke dosennya, lalu menunggu si dosen membalas sebelum kembali ke rumah Deas. Itu jika berjalan lancar, bagaimana kalau si dosen sedang pergi atau ban sepeda si pengantar surat bocor. Deas menggaruk pelipis kirinya, berpikir bahwa mahasiswa sekarang harus bersyukur dengan adanya pesan instan meski mereka sering berdalih kehabisan kuota internet.
Suara ketukan pintu mengembalikan Deas ke dunia nyata. Ia tersenyum begitu melirik Arya yang memasuki ruang dosen. Wajah Arya yang tidak ganteng-ganteng amat berubah menjadi amat tidak ganteng karena ditekuk. Ia mengempaskan dirinya di kursi yang ada di depan Deas begitu sampai.
"Pak Deas, saya depresi."
Deas melongo seketika. Tidak mengerti dengan kelakuan Arya. Entah siapa yang mengutuk hingga ia mendapat mahasiswa bimbingan yang agak nyentrik dan senang menunda-nunda kelulusan. Kredibilitas Deas jangan-jangan mulai dipertanyakan ketua jurusan karena mahasiswa bimbingannya hampir tidak ada yang lulus tepat waktu padahal itu ulah mereka sendiri. Deas bukan tipe dosen yang mempersulit, ia tahu menghadapi skripsi saja sudah rumit. Pun ia tidak mau disumpah-sumpahi para mahasiswa yang kesal dengan dosbingnya.
"Arya, saya bukan psikolog atau psikiater kalau kamu mau curhat soal depresi. Kamu bisa ke medical center, ada psikolog di sana."
Arya menegakkan tubuhnya. "Tapi, Pak Deas harus tanggung jawab."
"Hah? Kamu minta pertanggungjawaban apa sih?"
Arya menunduk dan memainkan jemarinya sebelum menatap wajah Deas yang dipenuhi tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikan Kecil (Terbit 2 Desember 2019)
General FictionJudul sebelumnya, 45 Months (Terbit, GPU, Desember 2019) [Cerita dihapus sebagian] Setelah menanti kurang lebih 45 bulan, Celoisa Kinarayu Sasongko (29) akhirnya dinyatakan positif mengandung. Tentu saja ia hamil dari suaminya, Deas Arka...