6. April dan Kalender Dinding

8.5K 1.3K 39
                                    

Pemimpin di negeri ini banyak yang munafik. Mereka berkata mereka mencintai rakyat, nyatanya mereka tidak terlalu memikirkan rakyat. Kebayakan dari mereka lebih mementingkan istri dan anak, meski istri dan anak mereka juga bagian dari rakyat, tetapi tidak seperti itu seharusnya. Pemimpin yang benar-benar mencintai rakyat, harusnya membahagiakan rakyat, seperti itu seharusnya mencintai. Hakikat cinta...

Deas baru saja menghela napas sambil menepuk jidatnya sendiri. Sehabis magrib, ia memutuskan mengoreksi proposal mahasiswanya, dan kali ini ia kembali menggaruk-garuk kepala. Arya boleh saja marah dengan pemimpin bangsa ini, tetapi tulisan yang terlalu baperan di skripsi dirasa kurang tepat bagi Deas. Mungkin Deas bisa mengusulkan Arya untuk meracau di blog daripada di skripsi yang membuat ia terus-terusan revisi.

Mengingat Arya memang selalu membuat rambut Deas gatal-gatal. Arya sering terlalu baperan terhadap nasib negeri ini. Untungnya, Deas bisa meyakinkan mahasiswanya itu untuk tidak bunuh diri seperti yang ia katakan saat konsul dua bulan yang lalu. Waktu bergerak begitu cepat, Maura tidak bisa mengejar wisuda tanggal 17 April seperti yang ia inginkan, tetapi setidaknya, ia sudah sidang 6 April lalu.

Melihat kalender, membuat Deas teringat bahwa bulan ini adalah bulan tepat empat tahun pernikahannya dengan Celoisa. Ia tidak mengerti apakah ini sesuatu yang harus dirayakan atau tidak. Empat tahun bukan waktu yang lama, tetapi terlihat cukup lama jika melihat ada orang yang bercerai setelah menikah tiga hari.

Tangan Deas masih mencorat-coret skripsi Arya ketika Celoisa membuka pintu ruang kerjanya dengan daster dan rambut yang dicepol asal. Perut istrinya mulai membulat dan membuncit. Sejak Celoisa memutuskan untuk keluar dari kantor dan menjadi freelancer, banyak waktu yang ia miliki untuk memasak dan memakan sendiri masakannya. Celoisa begitu mengandrungi mengolah masakan laut. Deas terkadang harus menggoreng tempe sendiri karena muak melihat cumi-cumi dan salmon tiap hari.

"Waktunya makan malam!" sahut Celoisa riang.

"Seafood?"

"Tidak, kali ini olahan dari kebun. Cah kangkung dan tempe bacem. Tapi... tempe bacemnya pakai bumbu instan sih," sahut Celoisa. Deas mengangguk-angguk dan merapikan kertas-kertas proposal mahasiswanya.

Deas tersenyum senang melihat pipi Celoisa yang mulai gempil selain perutnya yang mulai bulat dan membuncit. Merasa diperhatikan, Celoisa melirik Deas dan mengerutkan dahinya.

"Kenapa? Mau ngatain aku tambah gendut?"

"Eh, enggak. Biar gendut tetap cantik kok," jawab Deas. Menyadari perubahan wajah Celoisa, Deas menoleh ke arah kiri dan menelan makanannya sebelum menghadap ke arah Celoisa dan tersenyum penuh paksaan.

"Tuh, beneran dibilang gendut. Nyebelin."

Kalau sudah begini, Deas memilih diam saja sampai Celoisa membuka obrolan lagi. Karena kalau ia sok-sok minta maaf, habislah dia dicereweti Celoisa, mulai dari dugaan Deas senang Celoisa bertambah gendut sehingga punya alasan untuk selingkuh, sampai menyumpahi Deas membuncit seperti bola. Celoisa sudah mengoceh semacam itu kemarin dan Deas tidak mau jadi keledai yang masuk ke lubang nestapa dua kali.

"Diar ke sini tadi," Celoisa kembali membuka percakapan. Deas cuma mengangkat alis kirinya untuk bertanya 'ngapain'.

"Dia bawa totebag kanvas sepuluh biji dan nyuruh aku buat ngelukis yang lucu-lucu. Mau dijual katanya, soalnya teman-temannya pada suka sama totebag yang aku kasih kemarin," kali ini Celoisa menceritakan dengan bersemangat.

Deas sendiri agak heran, mengapa tingkah Celoisa selepas keluar dari pekerjaannya menjadi lebih... feminin. Perempuan itu tidak hanya memasak, tetapi juga menjahit, merajut, dan melukis. Celoisa memang enggak ngidam yang aneh-aneh selain memaksa Deas untuk membelikan mesin jahit portabel, merengek-rengek ditemani pergi ke BTC untuk membeli kain, atau mengirim pesan mengabarkan catnya habis.

"Terus, kamu mau ngelukisin totebag-totebag itu?"

"Aku mau dong, Eyas. Kan lumayan, hobiku tersalurkan dan dapat uang."

"Asal enggak terlalu capek aja. Saya enggak mau ada merah-merah di kaki kamu lagi. Kamu tahu kan maksud saya, Loi?"

Celoisa berdecak dan mengangguk. Sejenak ia memandangi kalender di dinding dan tersenyum lebar.

"Sudah mau empat tahun," ujar Celoisa pelan.

"Dan masih mau tambah jadi bertahun-tahun?"

Celoisa meletakkan sendoknya dan menaikkan alisnya, mulutnya sedikit terbuka.

"Jadi, cuma mau empat tahun aja? Jadi, karena aku sekarang pipinya bulat dan buncit, kamu!!?"

Deas kembali menundukkan kepalanya, menyesali meledek singa hamil.

***

Pagi itu, Celoisa bangun dan wajah yang semringah. Kalau tidak ingat perutnya ada manusianya, ia sudah ingin jejingkrakan. Kalender dinding menunjukkan tanggal 19 April, keduanya berebut merobek kalender dengan tanggal 18 April saat sarapan tadi.

"Hore!!! Aku menang. Aku yang dapat hadiah! Terima kasih ya Allah!" teriakan Celoisa memenuhi ruang makan. Deas berusaha tersenyum bahagia melihat Celoisa bahagia, mencoba mengamalkan titah orang bijak yang berkata bahagia kalau melihat orang yang disayanginya bahagia. Sayangnya, Deas harus siap-siap dengan segala kemungkinan permintaan aneh-aneh yang keluar dari mulut Celoisa.

Sejak merayakan satu tahun pernikahan mereka, keduanya memang membuat lomba lari dari kamar dan menjadi yang tercepat sampai di ruang tamu untuk merobek kalender 18 April. Siapa yang berhasil merobek, berhak mendapatkan hadiah dari yang kalah, dan sayangnya Deas selalu kalah. Ada saja kecerdikan berbau kelicikan yang digunakan Celoisa seperti diam-diam memindahkan kalender, menyuruh Deas ke teras untuk mengecek siapa yang mengetuk pintu padahal hanya akal-akalannya saja.

"Hei, kenapa mukamu lecek gitu? Bahagia dong," Celoisa meledek Deas.

"Jangan minta yang aneh-aneh."

Celoisa memasang tampang berpikir yang membuat Deas berdecak dan menggaruk-garuk pelipisnya.

"Cepetan, Loi. Mau minta apa?"

"Oke. Buatin boks bayi, pakai tangan kamu sendiri."

Deas menyentuh dahinya gemas. "Saya tukang gambar, Loi. Bukan tukang kayu."

Celoisa menjentikkan jari. "Kalau gitu sekalian kamarnya di lukisan yang menggemaskan, ya, Eyas yang baik. Good job, My carpenter." Celoisa menepuk-nepuk bahu Deas. Dengan terpaksa Deas menyungginggkan senyum lebar, selebar dadanya menerima permintaan Celoisa.


7.6.17

**

Sampai jumpa tanggal sebelas bulan depan ^^

Ikan Kecil (Terbit 2 Desember 2019)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang