Deas sudah duduk di meja makan, memasukkan oat yang telah dicampur dengan irisan stoberi dan susu vanila ke mulutnya. Dahinya beberapa kali berkerut dan senyum seakan musnah dari wajahnya. Deas teringat, Jumat lalu, mereka tergesa-gesa ke rumah sakit karena ada noda merah di celana putih Celoisa. Meski dokter berkata bahwa flek seperti itu masih dalam batas wajar tetapi Celoisa tetap tidak boleh kelelahan.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam dan ia baru saja mendengar suara sepatu Celoisa. Perempuan itu menghampiri dan mengecup pipinya.
"Pintar banget sih, bikin makan sendiri," puji Celoisa. Deas sebenarnya ingin tertawa, ia merasa seperti anak SD yang pulang sekolah, merasa lapar dan memakan apa saja yang bisa diolah di dapur karena mamanya bekerja dan tidak memiliki ART.
"Kenapa baru pulang?"
"Bantuin Izzan sama Danu bikin fasad."
Deas menoleh ke arah Celoisa, lalu berkata,"Kamu tahu kan kalau kamu enggak boleh capek-capek? Saya enggak mau terjadi hal-hal yang enggak kita inginkan, Loi. Kalau kamu tiap hari pulang malam gini, saya yakin beberapa hari ke depan kamu ambruk lagi."
"Kok kamu ngomong gitu, sih? Kamu doain aku ambruk lagi?"
Deas hanya menggeleng.
"Aku enggak mau diam di rumah dan enggak ngapa-ngapain. Aku yakin, aku bisa jaga diri aku biar enggak terjadi apa-apa, kok."
Deas menggenggam sendoknya erat sebelum menghela napas.
"Loi, saya cuma berharap, kamu enggak hanya mikirin kerjaan kamu, tapi juga keadaan kamu. Saya yakin kamu sudah cukup dewasa untuk bisa memprioritaskan mana yang lebih penting."
Keheningan menyergap mereka berdua. Hanya denting sendok dan mangkuk yang terdengar. Celoisa menunduk dan memikirkan ucapan Deas. Ia masih ingin bekerja, ia masih ingin mengembangkan kariernya dan dia tidak mau menjadi perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah. Celoisa tahu kalau ini bukan perkara materi, ini perkara menjalani kehidupan.
"Deas, biarin aku kerja, ya! Aku janji bakal jaga kesehatan," sahut Celoisa, begitu pelan.
"Janji dicatat," sahut Deas.
"Aku mau janji juga, kalau abis ini aku kenapa-kenapa lagi kayak kemarin, aku mau istirahat di rumah lebih lama sampai semuanya aman."
"Janji dicatat," kali ini senyum terkembang dari bibir Deas, membuat Celoisa tertular.
Celoisa kemudian mengambil sebuah pisang yang ada di depannya dan menggigitnya. Sambil mengunyah, ia tersenyum dan memandang Deas.
"Sushi yang kemarin enak banget, ya!" sahut Celoisa. Deas melirik Celoisa dan menjawabnya dengan anggukan.
"Duh, laper," ujar Celoisa, kali ini sambil memegang perutnya. Deas memandang mangkuk oatnya yang hampir habis, ia mengambil sesendok dan menyodorkannya ke depan mulut istrinya. Sayang, Celoisa malah mencebik dan menggeleng.
"Pak Deas, kalau tadi aku bilang sushi yang kemarin enak terus bilang laper, itu artinya aku pengin makan sushi di sana," Celoisa menjelaskan dengan nada seperti guru yang menjelaskan dua dikali dua sama dengan empat.
"Bu Celoisa, lain kali kalau pengin sesuatu, langsung bilang saja. Pak Deas itu belum sempat belajar perkodean," jawab Deas yang ditanggapi dengan kekehan geli dari Celoisa.
***
"Iya, Nu. Jadi yang lantai dua ini, kita dominasi warna merah sama biru. Terus di tengah, ada rel kereta api yang kereta apinya jalan terus. Terus di beberapa sudut, kita kasih sofa yang—" Celoisa menghentikan penjelasannya kepada Danu, arsitek di Red Watermelon, ketika mendengar teriakan Lula yang menyebutkan namanya.
"Kenapa sih, Lul?"
"Ka... kaki. Aduh... kaki kamu," sahut Lula. Celoisa tidak mengerti. Ia menunduk dan melihat kakinya, ada darah yang mengalir. Mendadak, badannya menjadi lemas. Dicengkeramnya lengan Danu yang berdiri di sampingnya.
"Mbak Cel," sahut Danu sambil membimbing Celoisa duduk di kursi yang tak jauh dari meja tempat mereka berdiskusi. Badan Celoisa bergetar, kali ini berbagai kemungkinan buruk merangsek ke otaknya. Lula yang tergopoh-gopoh dengan sekotak tisu mendekati Celoisa.
"Ke dokter sekarang, ya! Danu, bisa antar kita, kan? Zan... Izzan, tolong bilang Pak Pongki!" ujar Lula.
Kegemparan akan berdarahnya Celoisa pun menjadi trending topic di Red Watermelon pagi itu.
***
Ini hari Rabu, 1 Februari dan Maura datang ke kampus. Kejadian yang langka, Deas bahkan harus mengucek-ngucek matanya ketika gadis yang hari ini berambut hijau aquamarine itu membuntutinya begitu ia keluar dari kelas menuju ruang dosen.
"Ini masih tanggal 1, kenapa kamu sudah datang?" tanya Deas begitu mereka sudah tiba di ruang dosen. Maura nyengir.
"Kan, kemarin Pak Deas yang ngomel-ngomel sama saya karena saya jarang konsul. Pak Deas bosan lihat saya padahal tiap saya ke sini, saya udah ganti cat rambut saya."
Deas mengangguk-ngangguk."Baguslah kalau kamu dengerin omongan saya."
"Tapi yang lebih penting Pak Deas, saya mau ngejar wisuda bulan April karena wisudanya tanggal 17 April," sahut Maura, gadis itu tersenyum dengan amat-amat lebar. Seperti senyum perempuan yang baru dapat mahkota Miss Universe. Deas terkekeh geli.
"Ya sudah, mana revisian kamu?" tanya Deas. Maura mengeluarkan map berwarna merah yang berisi draft skripsinya. Kertas tebal yang dijepit penjepit besi berbentuk kupu-kupu itu baru disentuh Deas ketika ponselnya mengumandangkan I Want To Break Free-nya Queen.
"Sebentar, ya, Maura."
Maura hanya mengangguk. Matanya memandangi raut wajah Deas. Terjadi perubahan signifikan di raut wajah Deas menurut pandangan mata Maura. Saat mengangkat telepon, ada sedikit senyum dari wajah Deas. Mendadak, raut wajahnya mengeras, kenyitan di dahi, suara yang datar, dan sebuah embusan napas. Wajah itu kemudian terlihat begitu muram di mata Maura begitu Deas menutup teleponnya.
"Maura, ini saya bawa pulang saja, ya! Saya harus ke rumah sakit, sekarang," sahut Deas sambil mengambil draft skripsi Maura dan memasukkan ke ransel kanvas hijaunya.
"Kucing Pak Deas, ditabrak mobil, ya?"
Deas berdecak. "Saya enggak punya kucing, Maura. Istri saya yang masuk rumah sakit," jawab Deas, tangannya baru saja menarik ritsleting tas dan berdiri. "Kembali lagi, dua atau tiga hari dari sekarang, ya! Kamu sudah bab empat dan harus rajin konsul kalau mau wisuda April."
Maura mengangguk. "Siap, Pak. Saya punya banyak kucing dan dia baru saja melahirkan dua bulan yang lalu. Kalau Pak Deas mau—"
"Maura, saya buru-buru. Soal kucing, besok saja kita bicarakan," potong Deas cepat. Ia kemudian berjalan dan berbincang sebentar pada dosen lain sebelum melangkah menuju parkiran. Ada rasa cemas yang menggerogoti perasaan Deas, tetapi rasa kesal karena betapa bandelnya Celoisa pun hinggap. Deas tidak pernah bermaksud menyuruh Celoisa berhenti bekerja, hanya memintanya untuk tidak terlalu banyak jumpalitan dengan pekerjaannya.
Sementara itu, Maura berjalan dengan langkah gontai menuju kantin Mbok Jum. Memesan es teh dan menyemil gorengan yang ada di depannya. Menghubung-hubungkan bahwa mungkin ia memang harus konsul tanggal 17, terbukti dengan konsul hari ini yang tertunda.
***Sampai jumpa Jumat depan >.<
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikan Kecil (Terbit 2 Desember 2019)
Fiction généraleJudul sebelumnya, 45 Months (Terbit, GPU, Desember 2019) [Cerita dihapus sebagian] Setelah menanti kurang lebih 45 bulan, Celoisa Kinarayu Sasongko (29) akhirnya dinyatakan positif mengandung. Tentu saja ia hamil dari suaminya, Deas Arka...