[EHEM] Hari Pertama Masuk Sekolah

2.4K 371 68
                                    

Berpuluh purnama kemudian,

Satu hal yang Loi nggak sangka adalah kenyataan bahwa waktu seperti berlari. Detik demi detik seakan membawanya bergulat dengan kehidupan dengan berbagai pasang surutnya. Hari demi hari yang ia lalui di kantor dan juga di rumah. Masa-masa di mana Olei mengucap kata pertama masih teringat di benaknya. Momen di mana ia percaya bahwa segala yang ia dan Deas kerahkan untuk perkembangan Olei, nggak sia-sia.

Ini hari pertama Olei masuk SD. Usia Olei tepat 7 tahun bulan depan. Ia akan masuk ke sebuah SD inklusi. Ia dan Deas sepakat bahwa inklusi adalah jalan yang terbaik untuk pendidikan putranya. Berdasarkan hasil tes psikologi dan wawancara saat pendaftaran pun, ia yakin Olei bisa mengikuti pelajaran dan belajar bersosialisasi dengan baik. Di sekolah nanti, Olei akan didampingi GPK (Guru Pendamping Khusus).

Ada rasa hangat di dada Loi. Olei memang diterapi sejak kecil dan mengikuti kelas autis di sebuah sekolah tumbuh kembang. Namun, melihat anak lelakinya mengenakan celana merah dan kemeja putih bersih membuatnya merasa haru.

"Duh, anak mama ganteng banget," puji Loi. Ia lalu jongkok, membetulkan dasi anaknya yang sebenarnya tidak berantakan. Tangan Loi gatal saja ingin membenahi dasi puteranya. Olei melirik mamanya , lalu beralih ke dasi merahnya.

"Apa?" tanya Olei sambil menarik-narik dasinya.

"Ini dasi," kata Loi. Jemarinya menyentuh tangan mungil Olei, meremasnya. Mata Olei mengerjap, menarik tangannya dengan cepat dan memasukkannya ke kantong.

"Oke, kita makan pagi dulu," sahut Loi sambil tersenyum. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke meja makan diikuti Olei.

"Sarapan!" seru Deas yang sedang menata meja. Hari ini ia libur. Kampusnya memang baru mulai libur akhir Juni hingga Agustus nanti. Ia nggak begitu sibuk untuk bisa memasak sarapan dan ikut kegiatan hari pertama sekolahnya Olei. Sekolah Olei memang mengundang orangtua untuk datang dan mengikuti rangkaian kegiatan pengenalan sekolah untuk tiga hari ke depan.

"Hai Paus!" sapa Deas begitu Olei duduk di sampingnya. Olei menoleh sekilas, kemudian menunduk.

"Paus. Mamalia. Bukan ikan. Ada bergigi ada tidak bergigi. Paus bukan ikan," sahut Olei datar.

"Informasi yang bagus, Olei!" sahut Deas.

"Informasi yang bagus, Olei. Terima kasih," anak lelaki itu membalas ucapan ayahnya dengan nada yang monoton. Ia menatap piring di depannya. Potongan kentang rebus dan telur goreng.

"Kentang. Dari Amerika Selatan. Telur, dari ayam."

Celoisa yang tengah mengaduk kopinya tersenyum. Olei senang sekali membaca ensiklopedia dan menonton Discovery Channel. Ia merasa otak Olei semacam spons yang begitu mudah menyerap apa pun yang ia dapatkan. Informasi ini biasanya akan 'dibagikan' kalau ia mendengar sesuatu yang ia ketahui. Bagi Loi, hal ini terlihat menyenangkan dan lucu. Namun, kadang sulit untuk menghentikan Olei berbicara pada dirinya sendiri tentang suatu hal.

Celoisa teringat, lebaran lalu ia merasakan rasanya ingin tertawa terbahak-bahak, tetapi harus menahan diri demi kesopanan. Kala itu, Olei sedang menyusun mobil-mobilan yang dibawanya di karpet. Bude Hanum datang dan duduk di sebelahnya.

"Ini main terus, sudah makan ketupat, belum?" tanya Bude Hanum.

"Ketupat. Beras. Anyaman. Daun kelapa. Olei makan ketupat,"sahut Olei, matanya tertuju pada mobil-mobilan.

"Iya... aku yo tahu. Tadi makan pakai opor ayam apa sambal krecek?" tanya Bude Hanum lagi.

"Opor ayam. Ayam. Santan. Sambal krecek. Cabai. Krecek. Ya, Olei makan opor. Tidak sambal krecek. Sambal krecek pedas."

Ikan Kecil (Terbit 2 Desember 2019)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang