Rangga = 03 =

121 10 0
                                    

BAB III

Untuk seseorang yang baru patah hati, kesempatan kedua tidak selalu ada. Tapi kesempatan yang baru pasti selalu ada.

——

RANGGA menatap langit-langit kamarnya dengan bosan. Ia sedang memikirkan perkataan Angga tadi sore. Pikiran itu seperti menghantui kepala Rangga.

Ah, sungguh. Kenapa Angga adalah orang yang cerewet? Kenapa dia bukan orang yang pendiam? Kan Rangga jadi kepikiran gini. Hhh..., punya adek tidak selalu enak, ya.

Tiba-tiba Rangga mengernyitkan dahinya sebentar dan bangun dari tidurnya. Matanya terlihat telah menemukan sesuatu.

Rangga langsung mengambil jaket kulitnya dan segera keluar kamar lalu menutup pintu kamarnya.

Perempuan sering berkata; berilah kepastian. Maka dengan itu, Rangga akan membuatnya jelas sekarang.

Rangga adalah seorang lelaki yang selalu menepati janjinya. Janji seorang Rangga berarti adalah janji yang sebanding dengan nyawanya.

Konyol memang, tapi itulah Rangga.

Lelaki dengan penuh teka-teki yang belum kalian ketahui.

Tidak banyak kejutan dalam dirinya. Tetapi sifat-sifat alaminya itu yang disukai oleh banyak orang.

Rangga menuruni tangga rumahnya dengan cepat dan berjalan menuju pintu rumahnya.

"Rangga?" panggilan suara tegas nan dalam itu berhasil menghentikan langkah kaki Rangga. Rangga mencari asal suara itu. Ternyata benar, Ega. Papanya.

Rangga berjalan menuju arah Ega dan menyalimi tangannya. "Pa, Rangga pergi dulu ya ke rumah Amanda."

"Mau ngapain ke rumah Amanda malam-malam gini?" tanya Ega dengan suara datarnya.

Rangga tersenyum kecil. "Biasa, Pa. Ada masalah kecil."

Ega ikut tersenyum tipis, ia menepuk pelan pundak anak sulungnya itu beberapa kali. "Yaudah, sana. Siapa tau mungkin Amanda lagi termenung di rumahnya menunggu kamu datang ke rumahnya?"

Rangga tertawa kecil. "Omongan Papa udah kayak apa aja."

Ega tertawa. "Namanya juga mantan player, Rang."

"Ih! Papa! Ngomong enggak dijaga banget sama anak sendiri! Maluu! Inget umur, udah setengah abad!" sahut Rani—mamanya, yang datang entah darimana.

"Masih ganteng gini kok, Ma. Kalo anak jaman sekarang tuh bilangnya, 'orang ganteng mah bebas' nah, kan Papa ganteng. Berarti Papa bebas bisa ngapain aja!" jawab Ega.

Rani menggelengkan kepalanya dan menatap Rangga prihatin. "Sabar ya, Mas. Papa kamu emang mantan pasien di RSJ."

Rangga tertawa kecil lalu pamit untuk pergi. Dan tak lupa, seperti biasanya ia menyalimi tangan Rani dan mencium pipinya. Itu sudah seperti tradisi bagi Rangga.

——

Tok tok.

Masih dengan mengeratkan jaketnya, Rangga mengetuk pintu rumah Amanda yang bernuansa cream ini. Saat ini waktu baru menunjukkan pukul 7 malam, tapi entah mengapa udara sudah sangat terasa dingin dan seperti mengisyaratkan Rangga untuk segera pulang dan menghangatkan dirinya.

RanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang